Curcol dulu. Saya pernah bersepeda pada saat panas terik dari rumah ke tempat kerja ekstra. Ya cuma lima kilometer, tetapi karena saya belum cukup minum, setiba di kantor itu saya benar-benar sangat kehausan. Saya melihat di meja ada botol minuman dan beberapa gelas kosong, dan saya minta pada teman yang sudah lebih dulu di situ. Air di botol minum itu memang bukan air putih. Berwarna kekuningan. Saya menduga itu bir, jadi minum segelas bukan perkara buat saya, kecuali jika gelasnya ikut tertelan. Saya sama sekali bukan penggemar atau penikmat minuman beralkuhul, tetapi segelas cairan itu benar-benar menghilangkan kehausan saya.
Teman saya yang ada di bilik keluar dan cĕngèngas-cĕngèngas melihat saya menenggak cairan dari botolnya dalam satu seperempat detik. Saya malah heran,”Kenapa? Haus banget aku.”
Setelah saya cuci gelas, dia bertanya. “Piyé, nggliyĕr ora?” (Gimana, pusing gak?)
Dia tertawa terbahak-bahak dan menjelaskan bahwa minuman tadi adalah oplosan.😅
Memang saya merasa itu bukan bir biasa, ada rasa-rasa lainnya, tapi saya tak peduli wong benar-benar kehausan. Tak lama setelah mengambil berkas, saya bersepeda lagi, dan syukurlah tak ada razia minal atau minul, dan saya selamat sampai di rumah.
Lalu saya teringat pada orang muda yang saya jumpai beberapa tahun sebelum itu, yang pergaulannya diwarnai oleh aneka miras. Ia menceritakan bagaimana dalam peer groupnya ia dikenal sebagai peminum, mengalahkan preman-preman yang menantangnya. Menantang untuk minum, maksudnya. Yang mengesankan saya bukan bahwa dia sedemikian kuat minum dan bergaul dengan para preman, melainkan curcolnya pada saya. Dia berhenti sama sekali dari minal minul itu setelah sadar akan sifat kefanaannya: cuma memberi kesan, tanpa muatan pesan. Ia tahu dari pengalamannya sendiri mana yang fana dan mana yang bermakna. Kesaksiannya itu cukup menggambarkan kepada saya kemurahhatian Allah yang digambarkan dalam teks bacaan hari ini.
Sayangnya, bisa jadi kebanyakan orang beragama malah merepresentasikan anak sulung yang memaki-maki ayahnya yang sedemikian murah hati kepada adiknya. Anak sulung maunya si bungsu ini dihukum, bahkan sebelum dia menyikilidiki bagaimana tahapan pertobatan adiknya terjadi. Akan tetapi, begitulah ceritanya, open ending: apakah orang beragama itu cuma mau main hukum sendiri atau sungguh mau mengerti apa artinya keadilan Allah, kemurahhatian-Nya.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kesalehan hidup tak menyilaukan mata kami untuk senantiasa melakukan pertobatan seturut kemurahhatian-Mu. Amin.
HARI SABTU PRAPASKA II
14 Maret 2020
Mi 7,14-15.18-20
Luk 15,1-3.11-32
Posting 2020: Ampuni Corona
Posting 2019: Gusti Nyuwun Mercy
Posting 2018: Telanjangi Tuhanmu
Posting 2017: What if love ceases to be
Posting 2016: Allahnya Teroris
Posting 2015: Asal Usul Doa
Posting 2014: Why Forgive?
Categories: Daily Reflection