Apa jadinya kalau seorang istri atau suami berhenti mencintai pasangannya? Mungkin ia masih tetap jadi istri atau suami pasangannya, tetapi tanduk alias nambah porsi dengan pasangan orang lain, brondong atau bronding. Setelah tujuh tahun backstreet atau poligami ini terbongkar (maaf contohnya poligami saja ya), apakah sang istri akan tetap mencintai suaminya? Ya gak taulah saya, bergantung oknum-oknum yang terlibat di situ. Yang begini ini sekarang jadi konsumsi publik [maklumilah figur publik], silakan amati sendiri saja ya. Pertanyaan saya sekarang ialah: Apa jadinya kalau Allah berhenti mencinta?
Jawabannya takkan bergantung pada oknum-oknum yang terlibat di situ. Kalau Dia berhenti mencinta, tamatlah riwayat-Nya. Dia berhenti sebagai Allah. Lha iyalah, mau jadi apa Allah tanpa cinta? Apa artinya Tuhan jika cintanya karatan? Kebesaran apa yang Dia miliki dengan cinta yang mengikuti mood, kepentingan, selera, dendam, atau kebencian? Bahkan kalau dalam Kitab Suci disebutkan Allah yang pencemburu atau pendendam, itu toh adalah bahasa manusia sendiri, yang tak lain adalah proyeksi atas harapan manusia yang bisa jadi karatan: karena jengkel, marah, iri, malas, cemburu, dan seterusnya. Allah sendiri bukan pencemburu dan pendendam karena cinta-Nya tak pernah berhenti.
Allah macam begini ini adalah Allah pengampun. Ini ditegaskan dalam bacaan pertama, tetapi juga dilukiskan secara begitu indah dalam bacaan kedua: Ia berinisiatif menyambut anak bungsunya yang kapok. Ia bukannya gak tau bahwa motif pertobatan anak bungsunya ini korup. Ia tahu bahwa anak bungsunya malah hendak memperlakukan dirinya sebagai majikan, bukan lagi sebagai ayah, tetapi pokoknya anak bungsunya itu kembali, dan sang ayah menerimanya dalam pengampunan tanpa syarat. Berhentikah cinta pengampunan Allah di situ? Tidak. Kisah berlanjut: sang ayah membujuk anak sulung yang terbakar iri hati dan kemarahan supaya ikut berpesta.
Pengampunan Allah yang digambarkan sebagai pengampunan ayah yang baik hati ini mengangkat orang yang rendah diri dan membumikan orang yang arogan. Pengampunan macam begini tak bisa diperoleh tanpa pertobatan dan memang logikanya juga begitu: kalau orang tak bertobat, gimana dapat pengampunan? Ini bukannya Allah gak mau mengampuni, melainkan pengampunan-Nya itu sepaket dengan pertobatan. Mbok bagaimanapun orang ngecipris menceritakan aneka macam dosa di depan imam, kalau ia tak mengalaminya sebagai keberdosaan, imam itu takkan memberikan pengampunan dosa. Loh, mosok bisa sih Mo orang cerita tentang dosa-dosanya tapi tak mengalaminya sebagai kedosaan? Bisa saja toh formalitas. Hidupnya easy going dan cara menuturkan dosanya juga enteng: itu mah biasa, saya dah biasa nyolong, selingkuh, dan macam-macam. Tak ada tobat, tak ada pengampunan; bukan karena pengampunan tak tersedia, melainkan karena tobat tak diniatkan dari kedalaman diri.
Ya Allah, mampukanlah kami untuk bertobat, mengangkat kerapuhan dan merendahkan kesombongan. Amin.
HARI SABTU PRAPASKA II
18 Maret 2017
Mi 7,14-15.18-20
Luk 15,1-3.11-32
Posting 2016: Allahnya Teroris
Posting 2015: Asal Usul Doa
Posting 2014: Why Forgive?
Categories: Daily Reflection