Jika Anda mengampuni, itu berarti membuka pintu untuk memerdekakan orang dan menyadari bahwa orang yang dimerdekakan itu tak lain ialah Anda sendiri. Begitu kira-kira kata Lewis B. Smedes. Tindak memaafkan rupanya lebih berkenaan dengan pengelolaan diri daripada wacana mengenai kesalahan, dosa, kejahatan, penderitaan, dan sejenisnya.
Ayah yang murah hati dalam teks bacaan kedua hari ini tentu juga bukannya gak tau bahwa tindakan anak-anaknya sangat kurang ajar. Akan tetapi, tak sedikit pun dinarasikan bagaimana ia mencela tindakan anak-anaknya. Ia tetap fokus pada pertobatan orang dewasa, pada upaya untuk membangun dunia yang layak dihuni bagi sebanyak mungkin orang.
Pandemi Covid-19 membuyarkan mimpi begitu banyak pihak di ratusan negara dalam banyak sektor kehidupan. Sudah saya singgung dalam posting Virus Coro beberapa hari lalu bahwa pandemi ini menimbulkan polemik juga dalam cara orang beragama. Ada baiknya juga pandemi ini mengundang semua orang untuk meninjau ulang apa yang dianggapnya penting dalam hidup. Jürgen Klopp sudah memberitahu Anda bahwa keselamatan semakin banyak warga dunia jauh lebih penting daripada sepak bola. Kalau Klopp itu adalah imam Katolik, ia juga pasti akan bilang bahwa salam damai itu tidak penting, apalagi dengan risiko penularan virus.
Paus Fransiskus sendiri, menariknya, di tengah-tengah lockdown beberapa kota di Italia, menganjurkan para imamnya untuk tetap mengunjungi warga yang menderita sakit karena Covid-19 ini. Saya kira idenya bukan bahwa ia hendak menantang sains dan membuktikan bahwa para imamnya mampu melawan virus corona dengan rahmat Allah tanpa pilihan manusiawi yang bijak, seakan-akan malah hendak menguji kuasa Allah. Ini adalah tema universal yang hidup dalam ragam agama: tegangan antara rahmat Allah dan usaha manusia, antara takdir dan kebebasan manusia, dan seterusnya. Undangan Paus bisa dimaknai sebagai ajakan untuk fokus pada pertobatan dewasa tadi: membangun dunia yang layak dihuni bagi sebanyak mungkin orang. Artinya, sebisa mungkin tak ada yang dikecualikan.
Bahwa ada yang diisolasi karena sakit, itu tak perlu dilihat dari perspektif diskriminasi, tetapi dalam kerangka upaya membangun dunia yang layak huni bagi sebanyak mungkin orang tadi. Artinya, juga yang sakit tetap mendapat pelayanan jasmani dan rohani sebagaimana layaknya. Dengan begitu, mempertimbangkan protokol manusiawi tak perlu dicap sebagai wujud ketidakpercayaan pada rahmat Allah, tetapi sebaliknya, percaya penuh pada rahmat Allah tak perlu dipakai untuk menghakimi secara negatif upaya preventif yang bisa dilakukan manusia.
Kemarin saya dapat klip duet stand-up comedy yang menjabarkan poin empat tahap mitigasi bencana.
Tahap 1: Takkan terjadi apa-apa yang membahayakan.
Tahap 2: Sesuatu mungkin terjadi tetapi kita tak harus melakukan apa-apa.
Tahap 3: Mungkin kita harus melakukan sesuatu tapi tak ada hal yang bisa kita lakukan.
Tahap 4: Sebetulnya ada sih yang seharusnya bisa kita lakukan, tapi sekarang sudah terlambat.
Pertobatan dewasa tak pernah terlambat karena acuannya senantiasa ke depan, bukan ke belakang, supaya semakin banyak yang dapat berbahagia.
Ya Allah, semoga semua makhluk berbahagia juga karena pertobatan kami. Amin.
HARI SABTU PRAPASKA II
14 Maret 2020
Mi 7,14-15.18-20
Luk 15,1-3.11-32
Posting 2019: Gusti Nyuwun Mercy
Posting 2018: Telanjangi Tuhanmu
Posting 2017: What if love ceases to be
Posting 2016: Allahnya Teroris
Posting 2015: Asal Usul Doa
Posting 2014: Why Forgive?
Categories: Daily Reflection