Mungkinkah orang yang tak punya kepercayaan diri memercayai orang lain? Ya mungkin saja, tetapi pada momen ia mulai memercayai orang lain, kepercayaan dirinya terbangun juga. Sekurang-kurangnya begitu deh. Bukan apa-apa, kalau orang tak krasan dengan dirinya sendiri, gimana ia mau krasan dengan orang lain? Bukankah ke mana-mana ia ‘membawa’ dirinya sendiri, entah ada orang lain atau tidak?
Yusuf kiranya adalah anak yang krasan dengan dirinya sendiri. Mau tidak krasan gimana wong jelas-jelas dia sangat disayangi oleh ayahnya, Yakub, lebih dari kakak-kakaknya. Preferensi cinta itu dilihat kakak-kakaknya dan mereka tidak merasa nyaman karena keirihatian mereka sendiri, seakan lupa bahwa sebelum Yusuf lebih dikasihi Yakub, mereka sudah terlebih dahulu lebih dikasihi oleh Yakub daripada kakak-kakak mereka. Tentu saja, semakin tua, rasa sayang Yakub lebih kentara lagi terhadap anak bungsunya, mungkin jika dibandingkan dengan wujud sayangnya sebelum tua terlihat sangat berbeda.
Yang membuat kakak-kakak Yusuf jengkel bukan cuma statusnya sebagai anak kesayangan Yakub, melainkan bahwa Yusuf sendiri rupanya mengutarakan hal yang memicu kebencian kakak-kakaknya. Apakah itu? Mimpinya.
Yusuf dijuluki sebagai pemimpi, tetapi ini adalah terjemahan semantik yang perlu dimengerti dalam konteks ceritanya yang utuh. Ini bukan soal bahwa Yusuf suka menceritakan mimpinya, melainkan soal bahwa tafsir mimpi Yusuf menginsinuasikan bahwa dia berpretensi sebagai sosok yang punya kuasa atas saudara-saudaranya sendiri. Bahkan Yakub pun sempat menegur Yusuf atas tafsir mimpinya yang menggambarkan bagaimana ayah ibunya serta saudara-saudaranya sujud menyembah dia sampai ke tanah. Menariknya, reaksi terhadap tafsir Yusuf itu berbeda-beda. Kakak-kakak Yusuf iri hati, sedangkan Yakub menyimpannya dalam hati. Kelak ternyatalah bahwa saudara-saudara Yusuf sujud menyembahnya ketika ia menjadi penguasa di Mesir dan sanak keluarganya mesti mencari makan ke tempatnya.
Kisah Yusuf ini terproyeksi ke dalam narasi dalam teks bacaan kedua, suatu perumpamaan yang rupanya ditujukan kepada para pemuka agama Yahudi saat itu. Menariknya, para pemuka agama itu mengerti bahwa merekalah yang dimaksud Guru dari Nazareth sebagai sosok jahat yang menurut mereka sendiri akan dibinasakan oleh pemilik kebun anggur, dan mereka merealisasikan visi itu persis dengan kemarahan dan niat buruk mereka untuk menyingkirkan Guru dari Nazareth itu. Ini tipikal reaksi kakak-kakak Yusuf terhadap visi yang disodorkan Yusuf.
Barangkali sikap yang pantas diteladan dari tokoh cerita hari ini ialah Yakub karena kesediaannya untuk menyimpan dalam hati hal yang tak dapat dimaknainya sendiri pada saat hal itu didengar atau dilihatnya. Bisa jadi orang langsung mengungkapkan ketidakpercayaannya atas hal-hal yang tak masuk akal, tetapi kalau di balik pengungkapannya itu ia menyimpan dalam hati perkaranya, kiranya ia memperoleh keuntungan darinya. Sekurang-kurangnya, ia dapat perlahan-lahan mengerti misteri hidup yang terkuak perlahan-lahan daripada bereaksi seperti kakak-kakak Yusuf yang tak pernah lepas dari iri hati, cemburu, kemarahan, harga diri, arogansi, dan ketakutan mereka untuk merendahkan diri di hadapan Sang Misteri. Menyimpan dalam hati (mengolah dengan hati) mungkin lebih berguna untuk tafsir mimpi.
Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian supaya kami semakin dapat menangkap rahasia cinta-Mu dalam hidup receh kami. Amin.
HARI JUMAT PRAPASKA II
13 Maret 2020
Kej 37, 3-4.12-13a.17b-28
Mat 21,33-43.45-46
Posting 2019: Kelupaan Tuhan
Posting 2018: Tobat Ganti Agama
Posting 2017: Silence, Please!
Posting 2016: Persaudaraan Tak Otomatis
Posting 2015: Pemahaman Nenek Lu!
Posting 2014: Matinya Empati Kami
Categories: Daily Reflection