Saya tidak tahu mengapa tak ada yang melaporkan penyebar hoaks tentang agama. Apa jangan-jangan orang beranggapan bahwa agama itu hoaks ya?š Entahlah. Akan tetapi, masalah saya begini. Kalau orang menjelek-jelekkan agama Anda, siapakah yang sebetulnya dirugikan? Agama Anda, Anda pemeluknya, atau apa dan siapa?
Contoh konkret. Anda sungguh-sungguh mantan pastor dan karena butuh sesuap lobster dan sebongkah berlian, Anda menjual hoaks tentang ‘kepastoran’ dan agama Katolik di hadapan ratusan atau bahkan ribuan jemaat agama lain yang baru Anda peluk. Apakah ‘kepastoran’ dan agama Katolik dirugikan?
Kalau kriterianya seberapa banyak lobster dan bongkahan berlian yang Anda peroleh, Anda diuntungkan jika hoaks Anda itu mendapat jutaan likes dan karena itu hidup Anda dimudahkan. Akan tetapi, apakah ‘kepastoran’ dan agama Katolik dirugikan? Apakah kenyataan mengenai ‘kepastoran’ dan agama Katolik itu berubah? Tidak. Agama Katolik tidak dirugikan oleh hoaks itu. Yang dirugikan justru jutaanĀ likesĀ tadi yang tidak mendapatkan akses kepada kebenaran mengenai Katolik.
Itu juga saya alami dalam pergumulan akademis saya. Saya belajar mengenai Islam dan rupanya ‘hoaks’ itu juga bisa merambah dunia akademik jika saya tak hati-hati terhadap sumber yang saya pakai. Siapa yang dirugikan? Bukan agama Islam, melainkan saya, yang tak mendapat kebenaran informasi utuh mengenai Islam. Dengan kata lain, hoaks tidak merugikan kebenaran, tetapi mereka yang berhak mendapatkan informasi akurat mengenai kebenaran itu.
Lha, yang butuh informasi akurat mengenai agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dll, itu siapa? Tentu saja semua orang. Ini bukan soal bahwa semua orang harus memeluk agama-agama itu semua. Sebaliknya, orang perlu berkomitmen dengan agama tertentu, tetapi komitmen itu tidak menghilangkan haknya untuk memperoleh kebenaran mengenai agama lainnya. Kalau tidak, ia menjadi fanatik semata dan mengira bahwa agamanya adalah satu-satunya agama yang benar, satu-satunya agama Allah, tetapi cuma menurut prasangkanya sendiri.
Saya tak ambil pusing dengan siapa saja yang menyebarkan berita bohong yang berkaitan dengan agama Katolik, Islam, Protestan dan seterusnya. Dalam teks bacaan hari ini, orang-orang seperti itu tak signifikan: direpresentasikan sebagai orang kaya yang tak diberi nama. Narasinya memang berprotagonis orang kaya, tetapi orang kaya itu tak bernama, sebagaimana orang miskin diberi nama Lazarus. Dengan demikian, orang kaya itu dinarasikan sebagai sosok yang tak berkenan di hadapan Allah, sama sekali bukan karena kekayaannya, termasuk lobster dan bongkahan berlian tadi, melainkan karena ia menyalahgunakan (misuse-abuse?) kekayaannya: alih-alih membantu sesama untuk mengakses kebenaran ilahi (bahwa Allah begitu murah hati), ia memakainya untuk kenyamanan hidupnya sendiri.
Begitulah saya merasa prihatin: hoaks menjauhkan pendengarnya dari kebenaran sebagaimana penuturnya terlebih dulu menjauhkan dirinya dari kebenaran. Yang dirugikan bukan kebenarannya, melainkan penutur dan pendengarnya yang bodoh, yang tak punya kerendahhatian kepologis. Kenapa rugi? Karena hidupnya bagaikan tong kosong atau air beriak yang isinya cuma noise, yang memuaskan dirinya sendiri tapi tak bermanfaat bagi banyak orang lainnya.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami dapat memanfaatkan apa saja yang ada pada kami semata untuk kemuliaan-Mu dan sesama. Amin.
HARI KAMIS PRAPASKA II
12 Maret 2020
Posting 2019: Halal Gratis Pula
Posting 2018: Wis Kewowogen
Posting 2017: Awas Jurang!
PostingĀ 2016: Buka Pintu Beta Mau Masuke
PostingĀ 2015: When Good Men Do Nothing
PostingĀ 2014:Ā Kemiskinan: Mengandalkan Allah
Categories: Daily Reflection