Menerima Kematian

Elizabeth Kubler-Ross, seorang psikiatris, mengamati ada tahap-tahap kematian yang berbeda-beda pada mereka yang sekarat dan menderita penyakit terminal. Menurutnya, biasanya ada lima tahap dasariah yang dialami orang saat menghadapi kematian: (1) penolakan, (2) kemarahan, (3) tawar-menawar (4) depresi, dan (5) penerimaan. Ini saya kutip dari posting Latihan Doa 22. Pada film Patch Adams barangkali Anda bisa melihat tahapan itu dalam diri Bill Davis, penderita sakit terminal, yang mulai menerima kematiannya setelah Patch membacakan aneka sinonim kematian.

Anda tak harus mengalami sakit terminal untuk mengalami atau sekurang-kurangnya memahami tahapan Kubler-Ross tadi dengan modifikasi tertentu. Teks bacaan hari ini pun bisa jadi gambaran bagaimana para murid memahami pesan Guru dari Nazareth. Dalam keseluruhan kitab, tulisan hari ini adalah pemberitahuan ketiga mengenai sengsara, kematian, dan kebangkitan. Pada pemberitahuan pertama (Mat 16,22-23), Petrus memerankan iblis yang menolak pewartaan gurunya. Bayangkan, baru omong mengenai kemungkinan penderitaan dan kematian, Petrus sudah bereaksi keras, menolak alur hidup yang disodorkan gurunya.

Pada pemberitahuan kedua (Mat 17,22-23), para murid mengalami kesedihan dan desolasi. Bisa jadi mereka mengalami depresi juga. Setelah pemberitahuan ketiga, yaitu pada teks bacaan hari ini, tampaklah kesalahpahaman yang merebak, tidak hanya di kalangan para murid, tetapi juga keluarga mereka. Mereka belum menangkap bahwa ada penderitaan dan kematian yang lebih mulia daripada yang dapat mereka bayangkan. Teks ini pada kenyataannya memperlihatkan tegangan kekal antara kemuliaan pribadi yang diberi gelar Anak Manusia dan kemuliaan manusia pada umumnya.

Kemuliaan Anak Manusia merujuk pada kematian yang merepresentasikan pemberian diri dalam pelayanan yang memungkinkan kualitas hidup orang lain berlangsung. Tak perlu membatasinya pada Guru dari Nazareth, tentu saja. Di sekeliling Anda mestinya ada juga mereka yang memberikan pelayanan juga dengan pengorbanan nyawanya. Belum lama dikabarkan bagaimana dokter yang menangani penderita Covid-19 meninggal. Dalam posting Hidup sebagai Hadiah saya singgung Riyanto yang gugur lantaran ledakan bom di sebuah gereja. Akan tetapi, saya yakin, di sekeliling Anda mestilah ada pribadi-pribadi yang secara tulus memberikan diri demi kemanusiaan, bukan semata-mata karena ideologi filantropis.

Kemuliaan manusia pada umumnya merujuk pada sikap posesif, memperbudak, mengobjekkan dan membuat kematian-kematian kecil dalam hidup orang lain. Orang hendak menggapai kemuliaan dirinya dengan merenggut kemerdekaan orang lainnya. Itulah yang dimintakan ibu Zebedeus kepada Guru dari Nazareth, yaitu supaya anak-anak mereka mendapat posisi penting dalam kerajaan yang diwartakan Guru itu. Salah paham mengenai kerajaan, salah paham juga mengenai posisi dalam kerajaan itu. Kesalahpahaman ini membuat fokus orang tak pernah bergeser dari survival of the fittest menuju struggle for the greater glory of God.

Barangkali menerima kematian punya fungsi sejajar dengan menerima sisi gelap masa lalu yang menyadarkan orang bahwa hidup ini memang sekadar mampir ngombé alias minum. Sebagian salah paham, menafsirkannya sebagai ngombé-ngombé alias minum-minum, yang tak lain dari menghindari kerasnya hidup, termasuk penderitaan yang dikandungnya. Barangkali itu juga berguna supaya orang tak dihantui oleh virus ketakutan bahkan sebelum tersentuh oleh virus yang bikin ketakutan itu dan dengan begitu bisa hidup merdeka.

Tuhan, mohon rahmat kekuatan supaya kami tahan menderita untuk menularkan cinta-Mu. Amin.


HARI RABU PRAPASKA II
11 Maret 2020

Yer 18,18-20
Mat 20,17-28

Posting 2019: Gabutisme
Posting 2018: Agama Semprul

Posting 2017: Si Pandir

Posting 2016: Harga Penderitaan

Posting
 2015: Jangan Tanya Dapat Apa