Sejak virus corona keluar dari China, cerita kecil Tony de Mello merebak lewat medsos. Wabah sedang menuju Damaskus, dan melewati seorang kafilah di padang gurun. “Mau ke mana kau, Wabah?” “Mau ke Damaskus, mau merenggut seribu nyawa,” jawab Wabah. Sekembalinya dari Damaskus, si Wabah ketemu lagi sama kafilah dan kafilahnya protes,”Hai, Wabah, kamu telah merenggut 50 ribu nyawa, bukan seribu seperti katamu!”
“Tidak,” jawab Wabah,”Aku sungguh-sungguh cuma ambil seribu nyawa, sisanya mati karena ketakutan.”
Sewaktu menonton tayangan perlakuan terhadap kota Wuhan, saya memang terheran-heran, ini virus macam apa toh kok sampai segitunya. Apakah virus itu lebih mengerikan dampaknya daripada malaria di Papua? Sepertinya tidak, tetapi berita bervideo bagaimana virus itu dihadapi tampaknya lebih mengerikan daripada aslinya. Sekarang, bahkan beberapa kota di Italia diisolasi. Isolasi itu tak cuma mengakibatkan pariwisata anjlok, tetapi juga kegiatan keagamaan yang melibatkan keramaian dibatalkan atau dimodifikasi. Menariknya, sebagian orang mengecam pembatalan itu dengan argumentasi bahwa itu menunjukkan secara jelas bahwa orang tak lagi mengandalkan kekuatan Allah, tak percaya lagi bahwa Allah mahakuasa.
Saya tak berminat dengan polemik itu, tetapi tertarik pada virus yang disodorkan teks bacaan hari ini, virus yang membahayakan bangunan rohani, dan dampaknya juga menyentuh bangunan jasmani. Virus ini disebarkan oleh para ahli Taurat dan orang Farisi, yang punya posisi penting dalam hidup keagamaan, tetapi dalam hati memelihara ketakutan akan kehilangan posisi penting itu. Ini mirip dengan monyet yang dibahas kemarin, cuma kacangnya diganti dengan posisi penting itu. Apakah virus itu cuma berlaku bagi pemuka agama, yang tertangkap sebagai predator jemaatnya sendiri? Tentu tidak.
Btw, intermezzo, saya kadang gemas mendengar komentar orang mengenai pemuka agama predator ini. Karena kebanyakan yang diekspos adalah pemuka agama yang hidupnya selibat (tak boleh kawin), orang dengan ngawurnya berkomentar bahwa solusi problem ini adalah membiarkan pemuka agama itu kawin. Kok kelihatannya simple banget😂, padahal pemuka agama yang kawin pun bisa jadi predator seksual. Tak semudah dan sesederhana itu, kan, Ferguso?
Guru dari Nazareth berpesan supaya orang beriman waspada terhadap virus yang membuat orang mengalami disintegritas, atau apa ya istilahnya, pokoknya bikin orang tak punya integritas. Omong tebal, laku tipis. Tak lain dan tak bukan, karena hidupnya penuh kebisingan dengan apa kata orang, apa yang menurut orang adalah kesuksesan, apa yang menurut orang kebahagiaan, apa yang menurut orang kemajuan, dan seterusnya. Orang jadi susah masuk ke dalam dunia batinnya dan roh yang dominan justru adalah roh yang membuat orang ketakutan.
Isolasi kota atau pembatalan kegiatan keagamaan tak perlu dimaknai sebagai wujud ketakutan, apalagi ketidakpercayaan kepada Allah yang mahakuasa. Bisa jadi sebaliknya: agama berusaha menangkap rasionalitas kemahakuasaan Allah juga dalam pertimbangan-pertimbangan manusiawi.
Begini kata Santa Teresa dari Kalkuta: The fruit of silence is prayer. The fruit of prayer is faith. The fruit of faith is love. The fruit of love is service. The fruit of service is peace.
Tuhan, mohon rahmat keheningan supaya hidup kami tak terkuasai roh ketakutan yang menghancurkan bangunan kerohanian kami. Amin.
HARI SELASA PRAPASKA II
10 Maret 2020
Posting 2018: Agama Ciyus
Posting 2017: Akal Budi/Bulus
Posting 2016: Agama Songong
Posting 2015: Makin Tinggi, Makin Melayani
Posting 2014: Tobat: Lebih dari Sekadar Kapok…
Categories: Daily Reflection