Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, songong berarti tak tahu adat. Jangan-jangan, lawan dari agama adat adalah agama songong, agama yang tak mengindahkan adat luhur yang terpelihara sebelum agama songong itu tiba. Nah looo… agama apa nih yang songong? Katolik, Kristen, Islam, Yahudi?
Jangan buruk sangka dulu, Bang. Gak ada agama songong karena agama sendiri mengusung adat tertentu. Yang songong adalah orang-orangnya, bisa Islam, bisa Yahudi, bisa Kristen atau Katolik. Kenapa orang-orangnya bisa songong? Karena bego’, malas mikir, pikirannya cupet, maunya menang sendiri, merasa benar sendiri (wah, kayak gue dong)!
Sejak kecil saya diperkenalkan tempat angker, yaitu tempat-tempat rindang yang di dekatnya biasanya ada semacam kolam. Di situ kadang ditaruh aneka sajen (sayang es krim tak jadi bagian sesaji itu), yang menambah kesan angker. Ini belum lagi cerita-cerita horor yang bikin bulu kuduk berdiri (mungkin kecapekan jongkok). Pokoknya, di tempat seperti itu orang jadi tak berani macam-macam, selain mungkin mandi, mencuci baju, atau sekadar sembahyang menaruh sesaji (loh kok jadi macam-macam, red).
Nah, tibalah agama songong…eh, salah, orang songong. Praktik orang menaruh sesaji dan ritualnya itu dinilainya sebagai penyembahan berhala. Karena praktik ritual itu terus berlangsung, akhirnya ditebangnyalah pohon tempat sesaji diletakkan dan beberapa waktu kemudian ketika musim kering, tempat itu pun tak lagi mengalirkan air yang sebelumnya diproduksi oleh pohon yang tadi ditebang. Orang yang songong tadi disodori fakta kesulitan air yang dialami penduduk setelah pohon itu lenyap, dan ia ngotot: tak apa-apa, yang penting orang tak lagi menyembah berhala!
Dasar songong! Tak tahu adat! Ia tahu ritual, tetapi tak mengerti Roh di baliknya. Ia melihat tata gerak, tetapi tak menangkap iman dan harapan terdalam akan kehidupannya. Dasar songong! Maunya memberangus takhayul, tapi malah menyodorkan takhayul lain: surga dan neraka. Persis abad gelap pertengahan! Karena ritual itu tak cocok dengan keyakinan, pikirannya, diberanguslah ritual dan elemen-elemennya: lagu, alat musik, pakaian, patung, sesaji, pohon, dan lain sebagainya.
Yesus menunjukkan orang-orang songong dalam masyarakat Yahudi waktu itu: mereka yang sangat ritual demi menutupi kebusukan hati mereka. Yesus tidak mengkritik ritualnya, apalagi memberangusnya. Jangan salah, orang munafik itu perbuatannya baik loh! Gak ada orang munafik yang perbuatannya jelek. Orang yang berbuat jahat, baiknya ialah bahwa mereka tidak munafik. Tapi, sama dengan orang munafik tadi, hatinya busuk. Jadi, kritik Yesus tidak hanya tertuju pada orang munafik, tetapi pokoknya pada semua saja yang hatinya busuk, entah mereka munafik atau tidak. Maka dari itu, tak seorang pun pantas mengecualikan diri dari pertobatan.
Pun jika orang punya niat tulus membangun dunia yang baik, biasanya ia jatuh dalam penyeragaman dan penyeragaman ini sangat sangat rawan potensial membentuk hati yang busuk lagi: kemunafikan. Selain itu, bisa jadi penyeragaman itu melanggar prinsip kerja Roh Allah sendiri. Bisakah orang beriman membiarkan Allah memberikan hidayah-Nya tanpa ia dikte tentang apa yang harus dikerjakan-Nya? Bisakah orang beriman memahami surga-neraka dengan cara yang lebih membebaskan daripada memperlakukannya seperti takhayul, untuk menakut-nakuti orang?
Ya Tuhan, bantulah supaya pikiran kami terbuka pada kerja Roh Kudus-Mu. Amin.
HARI SELASA PRAPASKA II
23 Februari 2016
Posting Tahun 2015: Makin Tinggi, Makin Melayani
Posting Tahun 2014: Tobat: Lebih dari Sekadar Kapok…
Categories: Daily Reflection