Kata lockdown begitu populer belakangan ini dan Anda tahu bahwa lockdown pun bisa jadi komoditi untuk politik, bukan? Saya terima pesan panjang via medsos yang berisi kekecewaan dan desakan seseorang kepada presiden supaya diterapkan lockdown. Saya sekubu dengan Jürgen Klopp, sadar diri bukan orang yang kompeten dalam teknis penanganan Covid-19, dan tak akan masuk ke wacana itu.
Dari teks bacaan hari ini saya cuma mau menyodorkan perspektif untuk tidak melakukan lockdown, sekali lagi bukan karena terkait dengan teknis penanganan Covid-19 (meskipun di suatu tempat, tanpa lockdown penyebaran Covid-19 bisa dikendalikan), melainkan karena orang memang bakal kehilangan daya hidup ketika menerapkan lockdown pada ranah yang saya singgung ini. Situsnya adalah sumur Yakub berkedalaman 32 meter yang digali sekurang-kurangnya seribu tahun sebelum Guru dari Nazareth beristirahat di bibirnya dan masih berfungsi sampai sekarang.
Anehnya, penulis teks bacaan hari ini mengisahkan perjumpaan Guru di sumur itu dengan perempuan Samaria yang sebetulnya tak perlu jauh-jauh ke situ (hampir satu kilometer) untuk mengambil air di sumur itu karena dekat tempat tinggalnya ada dua sumber air.
Di sini, penjelasannya tak bisa diberikan tanpa mendalami simbol sumur yang dipakai penulisnya. Sumur adalah tempat perjumpaan antara para gembala yang hendak memberi minum gembalaannya, tetapi juga perjumpaan antara para pedagang dan klien mereka, selain para perempuan yang datang hendak menimba air. Yang tak kalah seru, sumur juga jadi tempat instagramable bagi mereka yang sedang jatuh cinta atau sedang berurusan dengan cinta-cintaan gitu deh. Mungkin Anda masih ingat kisah Ribka yang ditemui suruhan Abraham yang sedang mencarikan jodoh untuk Ishak (Kej 24,1-67). Narasi Musa dan Zipora juga mengambil latar sumur (Kel 2,15-21). Menariknya, perempuan dari Samaria itu melontarkan keheranannya kepada Guru dari Nazareth: kok bisa-bisanya orang Yahudi minta air dari orang Samaria yang dianggap kafir!
Kalau Allah itu bisa jatuh cinta, rupanya Dia jatuh cinta bukan pada mereka yang (merasa) suci, saleh, baik, dan sejenisnya. Allah ini sudah sebegitu jauh berjalan hendak menemukan pribadi yang sungguh dicintai-Nya dan pada momen itu Dia menawarkan Diri-Nya sebagai anugerah, yang tentu saja bisa ditolak. Penolakan anugerah ini bisa terjadi jika orang melakukan lockdown dalam hatinya: tak lagi mau menerima kehidupan sebagai anugerah, tetapi sebagai jerih payah manusiawi semata untuk mengalahkan kematian, bagaimanapun penjelasannya.
Kembali lagi ke primadona coronavirus, orang memang bisa bereaksi dengan perspektif konservatif dan progresif. Keduanya bisa punya poin, tetapi tawaran teks bacaan hari ini mengundang kedua perspektif itu untuk kembali kepada kenyataan bahwa hidup ini sendiri pada dasarnya adalah anugerah. Anugerah itu memang memuat tanggung jawab (supaya semakin banyak orang boleh mengalami hidupnya sebagai anugerah), tetapi tanggung jawab manusia itu tak semestinya mengeliminasi alias melockdown karakter anugerah. Susah, bukan? Sepertinya begitu, tetapi kalau sungguh dijalani ya tidak susah: berusahalah sekuat tenaga seakan semua bergantung pada kemurahan Allah, berserah sedalam mungkin seakan semua bergantung pada usaha kita sendiri.
Pada momen seperti itu, pilihan orang tak disusupi kepentingan politik kekuasaan, tetapi niat tulus membangun peradaban.
Ya Allah, mohon rahmat kebijaksanaan untuk mempertanggungjawabkan anugerah kehidupan kami. Amin.
MINGGU PRAPASKA III A/2
15 Maret 2020
Kel 17,3-7
Rm 5,1-2.5-8
Yoh 4,5-42
Posting 2017: Makan Tuh Cinta
Posting 2014: Fragile but Called to Love *
Categories: Daily Reflection