Bahasa Roh

Tanpa kesulitan saya mengucapkan selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin kepada karyawan pom bensin sebelum saya minta isi pertamax untuk montor kesayangan saya. Saya tidak berbasa-basi. Balasannya pun tulus dengan senyum dan ucapan yang sama,”Mohon maaf lahir batin juga ya, Pak” [nah itu, padahal dia bukan anak saya]. Akan tetapi, saya malah punya kesulitan ketika teman saya mengucapkan “Selamat memperingati kenaikan Isa Almasih”. Saya yakin teman saya tidak berbasa-basi. Cuma memang problemnya ada pada saya untuk menerima ucapan seperti itu. Tentu jawaban gampangnya adalah “Terima kasih”, tetapi saya merasa jawaban seperti itu basa-basi saja karena sudah diberi ucapan selamat.🤭 Bandingkan dengan ucapan selamat Idul Fitrinya tadi, saya benar-benar mohon maaf lahir batin dan sebaliknya. Tapi ya mau gimana lagi, dalam beberapa hal barangkali memang dibutuhkan basa-basi. Dalam beberapa hal lainnya dibutuhkan ba(ha)sa yang gak basi.

Ndelalahnya beberapa waktu lalu masih ada saja pertanyaan yang terlontar mengenai ba(ha)sa yang gak basi itu: apa yang dimaksud dengan bahasa roh?
Sejujurnya, saya sangat malas membahas pertanyaan seperti itu karena pada umumnya dikait-kaitkan dengan karunia Roh yang ditangkap sebagai privilese kelompok orang tertentu. Saya lebih suka dengan teks bacaan hari ini yang memakai ungkapan “mereka berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka”. Konteksnya: kalau orang percaya kepada Allah, dia akan terus mencari bahasa baru yang membongkar tempurung wawasannya sehingga yang disebut Allah tadi semakin mudah diakses oleh semakin banyak orang.

Yang pada umumnya terjadi dalam agama malah tren sebaliknya: alih-alih mencari bahasa baru, malah mendorong atau bahkan memaksa orang lain mengikuti basa-basi! Pada suatu titik akan kelihatan bagaimana basa-basi itu menjadi formalisme belaka dan orang kehilangan makna. Pada momen itu, orang bisa luput menangkap pesan kenaikan Tuhan: menganggap dirinya diberi amanah untuk membaptis orang, mempertobatkan orang, membuat orang memeluk agama baru, dan sekitar proselitisme begitu deh.

Guru dari Nazareth tak pernah memberi mandat supaya murid-muridnya meyahudikan orang lain, apalagi meng-kristen-kan orang lain. Yang dimandatkannya cuma hal sepele: mewartakan kabar gembira, hidup seturut warta gembira itu, mempersaksikan hidup bersama Allah. Selebihnya, urusan Roh yang bekerja pada hati orang yang mendengar atau melihatnya.
Akan tetapi, berapa banyak orang, termasuk pemuka agama, yang menganggap dirinya punya tugas proselitisme, mengoreksi, mempertobatkan, menjaga orang di jalan Allah, seakan-akan dia sendirilah yang tahu persis jalan Allah itu?

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami menemukan bahasa Roh-Mu, bahasa cinta yang semakin mentransformasi kemanusiaan kami pada misteri cinta-Mu. Amin.


Hari Raya Kenaikan Tuhan B/1
Hari Raya Idul Fitri 1442 H
Kamis, 13 Mei 2021

Kis 1,1-11
Ef 4,1-13
Mrk 16,15-20

Posting 2018: Farewell Party?
Posting 2015: Korban Mei 98 Naik Surga