Belum lama saya mendengar khotbah untuk orang sekampung yang membeberkan bagaimana pemerintah mendiskriminasi agama tertentu berkaitan dengan larangan berkumpul dan mudik. Prihatinlah saya. Apa ya pemuka agama ini tidak tahu kejadian di Sungai Gangga beberapa waktu lalu yang bikin ledakan kasus kematian akibat kumpal-kumpul dengan alasan suci ya?
Belum lama juga saya dengar pidato presiden yang berkonsekuensi meriah karena dua kata ini: bipang ambawang. Seperti biasa, tak ada barang di kolong langit ini yang tak bisa jadi bahan libido politik; dan memang di negeri ini sudah sejak lama perkara agama paling nikmat disantap. Sayangnya, santapan agama itu tidak lagi diterima sebagai karunia bin rahmat, tetapi dipakai sebagai alat kekuasaan. Akibatnya, penyantap agama seperti ini senantiasa pasang kuda-kuda kuasa, bahkan pada masa puasa.
Teks bacaan hari ini tidak membahas perkara kuasa. Akan tetapi, kalau tetap dikategorikan sebagai soal kuasa pun, ini jadi kuasa paradoksal: kuasa cinta. Kuasa cinta tidak muncul dari ideologi agama, tetapi dari rahmat Dia yang ditangkap orang lewat agama. Problemnya abadi: orang menangkap agamanya, tapi mrucut menangkap Dianya. Akibatnya, orang lebih resah dengan hukum, aturan, benar-salah, daripada dengan rahmat-Nya sendiri. Agama tak lagi jadi kabar gembira, cuma bikin resah risau galau.
Saya bocorkan cerita pribadi saya sewaktu luntang-lantung sendirian di salah satu kota di Jerman. Saya dicegat oleh seorang ‘satpam’ sebuah toko dengan pintu masuk berupa tangga menurun. Dia menawari setengah memaksa saya untuk masuk sekadar satu dua menit. Sembari melihat-lihat sekitar saya mengatakan tidak, sebelum akhirnya saya sadar bahwa itu tempat prostitusi dengan sajian streaptease.
Saya masih punya uang beberapa ratus euro, tidak akan tekor hanya karena masuk beberapa menit. Saya belum pernah masuk ke tempat semacam itu, dan kalau masuk pun, saya tak punya beban apa pun. Saya tak punya larangan masuk ke tempat ibadat orang lain. Tak ada juga teman saya yang tahu. Bahkan Tuhan pun saya kira sedang tutup mata. Akan tetapi, masuk ke puskesmas (pusat kesenangan masyarakat, kata tour guide saya di Lombok) memang tidak masuk dalam rencana luntang-luntung saya.
Sayangnya, ‘satpam’ tadi tidak meyakinkan saya bahwa saya akan mendapat sesuatu yang baru, yang menambah kebahagiaan saya. Alhasil, setelah omong-omong agak lama (maksudnya dia yang omong-omong), saya hanya menjawab, “Nein, danke!” Saya meneruskan luntang-lantung dengan hati gembira, sama sekali tak tebersit di benak saya soal tempat hiburan yang diharamkan agama atau jadi ancaman bagi (agama) saya atau bahwa ibadat saya lebih baik daripada ibadat ‘satpam’ tadi. Saya hanya bahagia saja bahwa meskipun saya hamba Allah, saya diberi karunia boleh menjadi sahabat-Nya juga dengan agama saya yang terbatas.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami boleh menjadi sahabat-Mu di tengah-tengah hiruk pikuk dunia fana. Amin.
HARI MINGGU PASKA VI B/1
2 Mei 2021
Kis 10,25-26.34-35.44-48
1Yoh 4,7-10
Yoh 15,9-17
Posting 2018: Aku Cinta Kamu Wkwkwk
Posting 2015: Cinta Mati nan Menghidupkan
Categories: Daily Reflection