Siapa Takut

Konon, Muhammad Jalal al-Din Balkhi, seorang sufi dan penyair Persia yang mungkin Anda kenal dengan nama Rumi, pernah menulis kira-kira begini: Jika Anda membaca Kitab Suci dengan mata Anda, Anda akan melihat kata-kata; jika Anda membacanya dengan otak Anda, Anda akan melihat pengetahuan; jika Anda membacanya dengan hati, Anda akan melihat cinta. Jika Anda mengkajinya dengan segenap jiwa Anda, Anda akan melihat Hyang Maha Esa.
Maaf, saya tidak sempat lagi mencari sumber aslinya dan tidak bisa meyakinkan bahwa memang begitulah semestinya terjemahannya.

Mari kita terapkan ‘teori’ Rumi ini pada teks bacaan hari ini. Kalau Anda mengandalkan mata Anda belaka, Anda akan dapat membacanya kata per kata, seperti seorang anak SD membacanya. Kalau Anda memakai otak untuk membacanya, Anda tidak sekadar bisa menangkap kata-katanya, tetapi juga mengetahui sesuatu di balik kata-kata itu. Akan tetapi, pengetahuan Anda bisa keliru, sebagaimana anak SD tadi berusaha menggunakan otaknya pertama-tama untuk mengeja, lalu membaca verbatim. Salah satu test casenya adalah kalimat kedua dari awal,”Pada waktu itu datanglah Yesus dan berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: Damai sejahtera bagi klean semua.”

Kalau Anda termasuk fans Yesus dari Nazareth ini, yang sudah kerap mendengar cerita kebangkitannya, bisa jadi Anda menangkapnya begini: Sedang para rasul itu berkumpul di ruangan terkunci rapat, tiba-tiba mak cling Yesus nongol di tengah-tengah mereka, berdiskusi, trus habis itu wes-ewes-ewes bablas raib! Kalau itu yang ada di kepala Anda, saya sampaikan berita gembiranya: Anda tersesat atau tergolong fans Yesus yang, meskipun percaya pada kebangkitannya, belum menangkap maksud kebangkitannya.

Dalam ‘teori’ Rumi tadi, Anda sudah melampaui kemampuan anak SD, tetapi pengetahuan yang Anda bangun keliru. Mengapa keliru? Karena memang teksnya tidak bicara soal Yesus yang nongol njuk ngeloyor. Penulis teks itu mau menggambarkan bagaimana para rasul mengalami ketakutan pasca kematian guru mereka. Takut pada siapa? Pada siapa saja yang menolak agenda yang disodorkan guru mereka itu. Penulis Injil ini tidak sedang memberi reportase kaleidoskop pada media daring. Poinnya justru bukan pada penampakan Yesus yang kemudian lenyap dari komunitas para murid itu. Sebaliknya, kehadiran Yesus yang bangkit itu permanen dalam diri mereka yang tersengat kebangkitan.

Seperti apakah tersengat kebangkitan?
Paralel dengan ‘teori’ Rumi tadi, penulis memakai kata kerja ‘melihat’ dengan bahasa Yunani yang bernuansa lebih luas daripada melihat kata-kata dan pengetahuan. Ini perkara melihat dengan hati, yang berujung pada pengalaman cinta, dan kalau diteruskan, pengalaman cinta sejati itu membuka ruang bagi pengalaman akan Allah yang membebaskan orang dari ketakutan.
Pernah saya singgung bagaimana seorang uskup menangkap risiko kematiannya:  I’ve often been threatened with death. If they kill me, I shall rise in the Salvadoran people. Let my blood be seed of freedom in the sign that hope will soon be reality. A bishop will die, but… God… will never perish. 

Tersengat kebangkitan tak berarti Anda mesti jadi uskup, tetapi menghidupi benih-benih kebenaran yang mungkin sudah disemai oleh orang tua, tetangga, guru, anak jalanan, korban persekusi, dan sebagainya. Anda tak takut lagi untuk menyuarakan kebenaran karena Anda sudah mengalaminya sendiri.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami dapat hidup dalam kerahiman-Mu. Amin.


HARI MINGGU PASKA II C/2
HARI MINGGU KERAHIMAN ILAHI
24 April 2022

Kis 5,12-16
Why 1,9-11a.12-13.17-19
Yoh 20,19-31

Posting 2019: Compassionate Love
Posting 2016: Takut Kok Dipelihara