Sebagian dari Anda kiranya sejak kecil dibiasakan cuci tangan sebelum makan; sebagian lagi dibiasakan membuat tanda salib sebelum dan sesudah makan. Ada juga yang dibiasakan untuk mengucapkan salah satu hadis Nabi Muhammad, dan seterusnya. Itulah ritual, yang dipelihara secara turun temurun dari entah kapan sampai entah kapan juga. Teks bacaan hari ini menyodorkan rumusan doa yang konon diajarkan oleh Yesus.
Teks hari ini lebih singkat daripada teks yang ada dalam Injil Matius. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa ada sumber lain yang lebih tua daripada teks Matius dan Lukas yang memuat rumusan doa itu? Saya belum lama tahunya (mungkin karena waktu dosen saya mengajar 20-an tahun lalu saya pas angop). Didakhe ditulis pada abad pertama, yang tidak diterima sebagai bagian dari Kitab Suci, tetapi malah bisa jadi merekam ajaran-ajaran yang disampaikan oleh orang terdekat ring satu Yesus dari Nazareth.
Kalo gitu, dari ketiga sumber itu, manakah rumusan doa yang diajarkan Yesus sendiri?
Jawabnya: enggak ada. Mungkin, lebih tepatnya, saya tak tahu, atau emang gue pikirin.
Yang saya pikirkan ialah, teks Injil jelas bukanlah wahyu verbatim yang diteruskan secara turun temurun dari Yesus ke murid-muridnya dan dari murid-muridnya ke murid-murid murid-muridnya (piye jal). Ini sama sekali berbeda dari Al-Qur’an yang autentisitas rekamannya tak terbantahkan. Dengan demikian, rumusan doa Bapa Kami bukanlah rumusan yang diajarkan Yesus sendiri, melainkan rumusan yang disampaikan para pengikutnya sebagai intisari ajaran dan hidup Yesus. Isi rumusannya itulah yang perlu ditimbang-timbang; dan tindakan menimbang-nimbang ini, sejauh relate dengan hidup orang, barulah menjadi doa sesungguhnya, yang lebih dari sekadar ritual cuci tangan atau pendarasan rumus Bapa Kami tadi. Kalau tidak begitu, orang cuma jadi ribet dengan perkara teknis atau istilah, tanpa masuk pada kedalaman insight yang ditawarkan rumusan itu.
Misalnya, sebutan ‘Bapa’ dan ‘dikuduskanlah nama-Mu’, memuat maksud yang tak berbeda dari yang dirujuk oleh syahadat umat Islam yang menegaskan bahwa memang tiada tuhan selain Allah. Hanya saja, sebutan Bapa, meskipun tak identik dengan ayah biologis, memuat konsekuensi bahwa yang menyebutnya demikian itu menempatkan posisi sebagai anak. Anak, tentunya, punya kemiripan dengan Bapanya, seberapa pun kadarnya. Atau, itu adalah undangan untuk menyelaraskan hidup dengan karakter yang ditunjukkan oleh si Bapa itu. Selain itu, konsekuensi yang kedua ialah bahwa orang-orang lain adalah saudara dari satu Bapa itu.
Runyamnya, karena orang tak berdoa, dua hal itu saja sudah bisa bergeser dari orientasi hidup orang. Alhasil, Anda dan saya sungguh-sungguh perlu berdoa dengan tanya: anak siapakah aku ini?
Tuhan, mohon rahmat ketekunan untuk menjadikan hidup kami sebagai doa supaya kami sungguh menunjukkan diri sebagai anak-anak-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA XVII C/2
24 Juli 2022
Kej 18,20-33
Kol 2,12-14
Luk 11,1-13
Posting 2019: Mukjizat Doa
Posting 2016: Berdoa Kapan-kapan
Categories: Daily Reflection