Benci: Benar2 Cinta?

Penasaran saya terhadap teks bacaan hari ini terjawab. Mengapa Lukas menyodorkan perintah Yesus yang rada-rada gimana gitu: jika orang datang kepadaku tetapi tidak membenci orang tuanya, isteri, anak, dan lain-lainnya itu, ia tidak bisa jadi muridku! Kata membenci itu loh yang bikin saya penasaran. Teks lain, seperti Matius, masih lebih mudah dimengerti: barangsiapa lebih mencintai bapak ibunya lebih daripada mencintai aku (Mat 10,37), ia tak layak bagiku. Mengapa Lukas memakai kata membenci sih?

Jebulnya, di Kitab Ulangan (21,15-16) itu tertulis kira-kira begini. Jika terjadi poligami, itu berarti ada isteri yang dicintai dan isteri yang tidak dicintai. Kalau dua perempuan ini melahirkan anak laki-laki, yang disebut anak sulung adalah anak dari perempuan yang tidak dicintai itu. Konsekuensinya, dalam pembagian warisan, bagian anak sulung ini tidak boleh diberikan kepada anak-anak dari isteri yang dicintai. Nah, kategori ‘tidak dicintai’ itu berbau eufemisme. Dalam bahasa Ibraninya sendiri, jika diterjemahkan apa adanya, kategori itu adalah ‘dibenci’, bukannya ‘tidak dicintai’.

Akan tetapi, ‘dibenci’ di situ maksudnya bukan bahwa si laki-laki membenci isterinya, melainkan bahwa si laki-laki ini melewati masa pertama, menuju fase berikutnya ketika masuk perempuan lain yang dicintainya sedemikian rupa sehingga kadar cinta kepada isteri pertamanya tadi berkurang. [Ingat ya Ibu-Ibu, Mbak-Mbak, ini konteksnya zaman jebot ketika poligami diterima sebagai obat eh#] Jadi, apa maksudnya Yesus memakai kata ‘membenci’ dalam nasihatnya? Pasti bukan perkara melupakan, menjauhkan, mengabaikan kasih-sayang suci orang-orang terdekat, kan?

Ya kembali ke poligami tadi saja. Maksud saya, alurnya. Jika seorang anak laki-laki pada akhirnya bertumbuh dewasa dan membangun cinta dengan perempuan dan memutuskan untuk membangun keluarga dengan perempuan itu, pada saatnya tiba fase ketika dia mesti meninggalkan orang tuanya. Ini bukan perkara dia tidak lagi mencintai atau melupakan atau menolak cinta orang tuanya, kan? [Meskipun mungkin ada juga yang gitu😢] Ini adalah soal hadirnya cinta ‘baru’ yang berbeda dari cinta pertamanya dalam keluarga.

Dengan begitu, orang tua tak lagi punya tempat sebagai cinta ‘baru’ dalam hidupnya. Posisinya diisi oleh sang isteri sehingga jalan hidup selanjutnya adalah keputusannya bersama sang isteri. Konsultasi tentu saja bisa dilakukan kepada orang tau, tetapi keputusan akhir bagaimana hidup ini mereka jalani ya bergantung penuh pada keluarga baru ini. Satu-satunya yang pantas dijadikan referensi adalah cinta ‘baru’ itu, karena demi cinta ‘baru’ itu, si laki-laki hendak membangun hidupnya sampai penghabisan.

Pantaslah, jika begitu, Yesus mengatakannya: kalau kamu tidak membenci orang tuamu dll, kamu tak pantas jadi muridku. Ini bukan nasihat untuk membenci, melainkan justru untuk benar-benar mencintai apa saja pada tempatnya. Maka, ini juga bukan nasihat untuk menyangkal kebahagiaan kasih sayang keluarga, melainkan nasihat untuk menemukan kebahagiaan sejati yang melampaui fase kasih sayang dalam keluarga, untuk memberi preferensi terhadap kasih sayang yang lebih langgeng. Itulah kasih sayang yang memberikan segala untuk membangun cinta sejati, bukan kasih sayang yang minta dilayani, difasilitasi, dibombong, dipuji, dihormati, diberi privilese, dan sejenisnya.

Tuhan, mohon rahmat ketulusan hati supaya kami semakin dapat mengalami kebahagiaan sejati. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXIII C/2
4 September 2022

Keb 9,13-18
Flm 9b-10.12-17
Luk 14,25-33

Posting 2019: Logika Pancasila
Posting 2016: Ati Mangkrak