Mrucut

Tak sedikit orang mencari kebahagiaan dalam hidupnya, tetapi yang dijumpainya hanyalah kesenangan demi kesenangan. Banyak pula yang menghindari penderitaan, tetapi yang dilihatnya hanyalah rangkaian duka nestapa tanpa makna. Dalam salah satu referensi perkuliahan dalam blog ini, sudah saya sampaikan bahwa teori kebahagiaan tidak terjerembab pada paradigma tentang sumber kebahagiaan yang sumbernya bersifat melulu eksternal (sederhanakanlah ‘lahir’) atau internal (sederhanakan saja dengan istilah ‘batin’) doang. Paradigma yang pertama bikin hidup orang diombang-ambingkan situasi, pribadi, kondisi di luar diri. Paradigma yang kedua membuat hidup orang bertempurungkan kebenaran subjektifnya sendiri bertopengkan ajaran kebijaksanaan religius yang diyakininya sendiri atau diagung-agungkan kelompoknya sendiri.

Yesus berhadapan dengan dua kelompok orang yang rupanya mengandalkan dua paradigma itu. Yang satu mengandalkan apa yang secara lahiriah menyenangkan. Yang lainnya mengagung-agungkan petunyuk religius yang diikutinya. Dua-duanya mengidam-idamkan kebahagiaan lahir-batin, tetapi tak bisa menghubungkan kedua paradigma itu: kalau batinnya sesat ya lahirnya sesat dan sebaliknya, kalau aspek lahirnya salah ya batinnya juga salah. Mereka lupa bahwa lahir-batin itu bekerja secara fungsional atau mungkin kesulitan membaca referensi Teori (Ke)Pikiran yang mengundang orang untuk berpikir secara relasional.

Yesus tampaknya tidak punya stigma terhadap baik pendosa maupun orang suci. Beliau juga sepertinya tidak memandang kaum Farisi sebagai kaum yang jahat. Baginya, kedosaan itu bukan pertama-tama perkara doktrin agama, melainkan perkara kesesatan orang mengambil jalur pencarian atau target kebahagiaan lahir-batin. Maka, berhadapan dengan kaum Farisi yang bersungut-sungut karena sikap tolerannya terhadap mereka yang disebut pendosa, beliau menyodorkan beberapa metafora. Dua metafora pertama bisa jadi bingkai untuk mengerti karakter utama dalam metafora terakhir.

Mata kambing atau domba punya fitur yang bekerja seperti auto-rotate pada gadget zaman now. Kemampuan monocular visionnya seperti lensa extrawide, tapi konon kemampuan binocularnya cuma sekitar tujuh meter saja. Persisnya saya tak tahu; coba nanti saya tanyakan ke simbah saya bagaimana. Pokoknya, pada dasarnya domba ini tidak bisa melihat jauh, bahkan kalau itu uang berwarna merah. Itu mengapa domba punya potensi besar bakal tersesat jika terpisah jauh dari kawanannya.

Keadaan inilah yang dipakai Yesus untuk menanggapi reaksi kaum Farisi kepada kambing #eh para pendosa dan mereka yang menampungnya. Di tempat Yesus itu, kontur tanahnya berbukit-bukit sehingga kalau domba berbelok ke sebelah lain dari kawanan di depannya, ia benar-benar menempuh jalan yang entah ke mana. Maka, kalau pemilik kawanan domba itu kehilangan satu dombanya, ia lebih memilih mencari satu domba itu karena domba-domba yang lain sudah ada dalam jarak pandang yang aman. Pemilik kawanan itu, yang mestinya manusia, memiliki kemampuan binocular vision yang lebih baik, bisa memantau dari kejauhan, kecuali uang berwarna merah.

Cerita kedua punya karakter yang mirip. Perempuan yang kehilangan dirham itu mungkin bisa menyalahkan dirinya sendiri karena ceroboh, tetapi poinnya bukan bahwa ia ceroboh. Koin itu sendiri punya tendensi gampang mrucut (seperti belut yang mudah lolos dari pegangan tangan orang), dan si pemilik berupaya keras mencari koin itu. Tentu, jika ketemu koinnya, dia senang sekali. Bagaimana dia menemukannya? Kemungkinan besar menggunakan dian, karena hilangnya di area rumah yang terisolir dari cahaya. Begitulah, orang membutuhkan terang cahaya.

Dua perumpamaan itu seperti hendak mengantar Yesus untuk mengatakan bahwa kaum Farisi perlu mengubah paham Allah mereka yang terlalu kaku; yang membuat mereka sulit mengerti potensi kambing dan koin yang gampang mrucut itu; yang membuat mereka tak mau membedakan antara tindakan kedosaan dan pribadi seperti kambing dan koin tadi. Yesus menyodorkan paham Allah yang lebih membebaskan manusia, paham Allah yang sungguh memahami manusia: mencari kebahagiaan dengan cara-cara yang kontradiktif.

Dalam keadaan potensial mrucut itu, mereka yang ‘tersesat’ mencari jalan itu justru perlu dibantu, bukannya dihukum. Tapi, ya gitu deh, tampaknya lebih banyak ‘orang benar’ yang lebih suka hukum, dan hukum Allah pun dimengertinya sebagai hukum bikinan manusia (yang lalu diklaim sebagai bikinan Allah). Akibatnya, melihat orang bersalah, reaksi pertama mereka ini adalah hukuman, alih-alih melihat dengan perpektif potensi mrucut tadi. Bagi Yesus, yang utama justru adalah soal mengadopsi sikap ilahi Allah, yang senantiasa mengharapkan ciptaan-Nya menemukan jalan-jalan kebahagiaan sejati dan selalu siap sedia berpesta untuk setiap jiwa yang menemukan kebahagiaan sejati itu.

Anda dan saya bolehlah berefleksi bahwa potensi mrucut dimiliki semua ciptaan-Nya dan, dengan demikian, kalau potensi itu membawa orang tersesat, kita menyediakan bantuan, bukan hukuman (entah dengan gosip, permusuhan, fitnah, dan sejenisnya). Vonis hakim, dengan demikian, perlu dipahami sebagai bantuan institusional, bukan klaim hukuman Allah terhadap pribadi-pribadi yang mrucut.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya hidup kami dapat mewujudkan bantuan cinta-Mu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXIV C/2
11 September 2022

Kel 32,7-11.13-14
1Tim 1,12-17
Luk 15,1-32 (1-10, 11-32)

Posting 2019: Drop Your False Beliefs
Posting 2016: Allah Korup