Tetangga kamar saya yang belajarnya di negeri ayam jago mengingatkan saya pada pendekatan logika barat yang orientasi etisnya benar-salah. Tak ada tempat untuk ungkapan ngono ya ngono ning aja ngono. Dalam posting Penggila Kopi saya katakan falsafah Jawa itu membutuhkan keterampilan pembedaan roh tingkat dewa, bukan karena Jawa superior, melainkan karena falsafah itu mesti dipertanggungjawabkan di hadapan falsafah-falsafah lain untuk menemukan hal yang sungguh-sungguh dicari batin orang.
Teks bacaan hari ini bisa jadi bahan penjelasan: mereka yang tidak membenci bapak-simbok-adik-kakak-suami-istri, bahkan nyawanya sendiri, tidak bisa jadi murid Guru dari Nazareth. Dengan logika cara pikir ayam jago tadi, kalimat itu berarti either-or: pilih nyawa sendiri atau Guru dari Nazareth. Mati kowé!
Dengan logika ngono ya ngono ning aja ngono tadi (neither-nor): mencintai nyawa ya gak segitunyalah, atau jadi murid Guru dari Nazareth itu gak gitu-gitu amat keleus.
Ada lagi cara berpikir serupa tapi “lebih rakus” (both-and): bisa jadi murid Guru tapi juga bisa mencintai nyawa.
Ketiga cara berpikir itu tak cocok untuk membaca teks hari ini. Bisa dipakai, tapi hasilnya tak seindah atau semembahagiakan hasil cara berpikir lainnya. Cara berpikir apakah itu? Cara berpikir Pancasila, eaaaa…..
Tak banyak orang yang mengenakan cara berpikir Pancasila, hanya sejumlah mereka yang menekuni hidupnya sebagai peziarahan iman, peziarahan batin menuju Allah (versoDio).
Jauh lebih banyak orang yang menghidupi ketiga cara berpikir tadi: memilih agama karena agama anu lebih baik daripada yang lainnya, memuliakan agama sendiri dengan mencibir agama lain, meramu agama-agama supaya lebih aman untuk menghidupinya, jadi kutu loncat dari agama satu ke agama lainnya, dan akhirnya, beragama dalam tempurung agamanya sendiri. Itu semua manifestasi ketiga cara berpikir tadi.
Cara berpikir Pancasila lebih tepat untuk membaca teks hari ini. Yang jadi dasar adalah sila pertama. Semua saja mesti bersumber dari situ: relasi personal dengan Allah. Yang lain-lainnya bergantung pada kualitas relasi personal itu. Alhasil, kalau orang mengabdi Allah, itu sama sekali bukan karena yang lain-lainnya tidak perlu diabdi, melainkan bahwa pengabdian yang lain-lain itu semata adalah wujud pengabdian kepada Allah.
Teks ini sejalan dengan logika ayam jago tadi: tak bisa orang mengabdi dua tuan. Mesti memilih, tetapi pilihan itu tidak mengatakan bahwa tuan yang satu lebih baik, dan tuan yang lain lebih jelek.
Ini soal menempatkan Allah sebagai azas dan dasar, bukan mempertentangkan Allah dengan ciptaan-Nya (piyé jal kalau tahu-tahu Anda diminta menceraikan suami atau istri tercinta Anda: pilih Allah atau suami/istri?), melainkan membiarkan Allah ada di dasar atau tengah poros kehidupan. Guru dari Nazareth kiranya tak hendak mencabut apa saja yang sungguh membawa kebahagiaan. Sebaliknya, ia ingin supaya kebahagiaan orang itu lebih besar lagi, lebih utuh.
Caranya? Membiarkan Allah jadi dasar atau poros, dan yang lain-lainnya mendapat maknanya dari situ. Dengan cara itu, pengalaman baik atau buruk, menggembirakan atau menyedihkan, tetap bermakna, dan kalau orang menemukan makna hidupnya, ia bahagia. Begitulah, membenci nyawa sendiri maksudnya menerima relasi personal dengan Allah yang autentik sebagai sila pertama.
Tuhan, ajarilah kami untuk senantiasa membiarkan Engkau di tengah-tengah pergumulan hidup kami. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXIII C/1
8 September 2019
Keb 9,13-18
Flm 9b-10.12-17
Luk 14,25-33
Minggu Biasa XXIII C/2 2016: Ati Mangkrak
Categories: Daily Reflection