Soul Saver

Logika Pancasila, kalau kemarin dipakai untuk membaca teks, hari ini diambil dari teksnya: manakah yang diperbolehkan dalam aturan agama, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya?

Dalam kalimat pertanyaan itu terkandung tiga orientasi etis. Pertama, kalau omong soal boleh atau tidak-boleh dalam konteks aturan (agama), orang bicara soal benar-salah. Yang diperbolehkan tentu yang dianggap benar dan yang salah tidak diperbolehkan. Akan tetapi, tidak semua yang benar itu baik dan belum tentu yang salah itu buruk. Loh kok isa, Rom? Bukankah orang mengejar kebenaran karena kebenaran itu baik? Memang, tetapi justru itu persoalannya.

Idealnya yang benar itu baik, tetapi bukankah yang menentukan kebenaran akhirnya orang-orangnya sendiri, yang bisa bersikukuh pada pendekatan logika yang kemarin saya sodorkan itu (either-or, both-and, neither-nor)? Di situ, yang benar belum tentu baik sebagaimana yang salah belum tentu buruk. Misalnya, di jalan raya tanpa trotoar, pejalan kaki umumnya beranggapan berjalan kaki yang benar di sebelah kiri. Itu benar, tetapi tidak bisa dipastikan bahwa itu baik, karena kalau berjalan di sebelah kiri, si pejalan kaki tidak bisa mengantisipasi kendaraan dari arah belakangnya. Kalau ia berjalan di sisi kanan, diandaikan semua kendaraan datang dari depannya, sehingga ia bisa mengantisipasi.

Maka, kedua, orientasi etisnya direpresentasikan dengan pertanyaan berbuat baik atau berbuat jahat. Maksudnya, Guru dari Nazareth itu mempersoalkan apakah aturan agama itu memberi preferensi pada yang baik atau yang buruk. Pertanyaan retorik itu tentu saja jelas jawabannya karena tadi sudah dibahas tendensi umum bahwa orang memilih yang benar karena yang benar itu diidentikkan dengan kebaikan. Semua orang menjawab: tentu saja aturan agama melarang yang salah dan memerintahkan yang benar karena yang salah itu buruk dan yang benar itu baik.

Guru dari Nazareth melewati pendekatan logika neither-nor ala Jawa dengan mengajukan orientasi etis ketiga (atau keempat jika diperhitungkan orientasi fit-unfit alias pĕnĕr-ora pĕnĕr): penyelamatan jiwa-jiwa. Apakah orientasi etis ketiga ini memecahkan persoalan? Tidak! Bukankah orang beragama berlomba-lomba mengklaim penyelamatan jiwa-jiwa ini bahkan sampai terjadi masa gelap perang agama?

Hal yang dilakukan Guru dari Nazareth dan tak gampang ditiru penggemarnya ialah realisasi penyelamatan jiwa-jiwa tadi. Ia mengatasi persoalan benar-salah dan baik-buruk dengan orientasi penyelamatan nyawa atau jiwa seseorang. Pada kenyataannya, orang lumpuh itu disembuhkannya: salah dari segi aturan agama, baik bagi kesehatan orang lumpuh itu. Apakah penyembuhan itu menyelamatkan jiwa si lumpuh? Tidak diceritakan dalam narasinya dan memang tidak otomatis orang yang sembuh dari sakit juga selamat jiwanya.

Guru dari Nazareth memberikan necessary condition bagi keselamatan jiwa orang lumpuh itu (yaitu dengan menyembuhkan sakit fisiknya), tetapi sufficient condition baru terwujud kalau yang bersangkutan punya relasi autentik dengan yang dirujuk oleh sila pertama Pancasila. Nah, logika Pancasila lagi, bukan? Memang ampuh kok Pancasila itu, orang-orangnya aja yang sontoloyo. Alih-alih menyelamatkan jiwa orang, kaum sontoloyo ini membinasakan jiwa atau nyawa orang lain.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya kami bisa jadi jembatan penyelamatan-Mu bagi jiwa sesama, alih-alih membinasakan mereka. Amin.


SENIN BIASA XXIII C/1
9 September 2019

Kol 1,24-2,3
Luk 6,6-11

Senin Biasa XXIII B/2 2018: Buat Apa Baperan?
Senin Biasa XXIII A/1 2017: Seberapa Rasional
Senin Biasa XXIII C/2 2016: Provokator

Senin Biasa XXIII B/1 2015: #Kemanusiaan Yang Terdampar