Saya benar-benar tidak tahu apa yang dilakukan Guru dari Nazareth ketika dikatakan ia berdoa semalam-malaman. Andaikan semalam-malaman itu empat jam saja, ngapain toh empat jam itu? Pasti gak berdoa brevir atau rosario kan ya? Kalau rosario ya jelaslah empat jam itu kira-kira 16 putaran; tapi ini tidak berdoa rosario, tidak juga novena, misa pertemuan lingkungan, atau latihan doa dengan bahan yang tersedia pada blog ini. Njuk ngapain itu empat jam? Apa penting dijawab sih, Rom?😂😂😂
Pokoknya, doa semalaman itu diceritakan sebelum Guru dari Nazareth itu memilih rasulnya. Perkara doanya bagaimana, ya mboh, tapi itu terhubung dengan tindakannya untuk memilih rasulnya. Apakah ini relevan dengan pemilihan tim KPK dan revisi UU tentang KPK, ya mboh, tapi bisa dilihatlah bagaimana bedanya antara orang memilih, memberi aspirasi, atau bertindak dengan beban dan tanpa beban. Ini tak perlu kemampuan rohani, secara nalar biasa saja orang bisa mengerti bahwa yang berbeban itu akan lebih ribet dengan aneka cover-up, sebagaimana orang hendak berbohong, kalau profesional, dia harus sudah menyiapkan kebohongan-kebohongan lainnya supaya kebohongan pertama tak terbongkar.
Guru dari Nazareth memilih para rasulnya bukan karena terbebani oleh tanggung jawab yang diembannya. Dia ini tipikal orang yang menyadari diri sebagai makhluk rohani yang punya pengalaman manusiawi, sebagai makhluk ilahi berdimensi insani, seperti orang-orang lainnya. Maka dari itu, doa baginya jadi momen timeless and spaceless. Artinya, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Ha njuk kalo gitu ngapain mesti naik ke bukit dong, Rom? Ngapain juga mesti semalaman, kok gak seharian?
Naaah itulah, saya juga bertanya, kalau doa itu melampaui ruang dan waktu, kenapa gak seharian dan cuma semalaman? Tapi pertanyaan itu sepertinya malah menunjukkan ketidakpahaman akan “makhluk ilahi berdimensi insani” atau “makhluk rohani berpengalaman manusiawi” itu tadi ya?😂😂😂
Doa memang mengatasi ruang dan waktu, tetapi pendoanya tetap terkena hukum fisik, yang terbatas oleh ruang dan waktu. Maka, meskipun Guru dari Nazareth menarik diri ke bukit untuk berdoa, itu tidak dimaksudkan sebagai cara untuk melarikan diri dari keterbatasan ruang dan waktu. Sebaliknya, ia memperbesar perspektif ruang dan waktu. Paham gak? Enggak? Sama dong.
Begini saja. Seandainya Guru dari Nazareth itu tidak pergi ke bukit untuk berdoa, ia terus-terusan berada bersama para murid, pengikut, penggemarnya; kapankah dia bisa mengobjektivasi diri, menjaga jarak dengan dirinya sendiri? Tak ada ruang dan waktu, atau ruang waktunya sempit. Dia akan tenggelam dengan aneka permintaan tolong atau bahkan tuntutan orang-orang di sekelilingnya, dan seharian serta semalaman ia akan sibuk berkecimpung di situ. Tak usahlah Guru dari Nazareth, masing-masing dari pasangan suami-istri pun membutuhkan quality time untuk dirinya sendiri. Setiap pribadi punya ranah gelap misterius yang bahkan dirinya sendiri tak kunjung memahaminya. Only God knows.
Untuk perlahan-lahan mengorek yang only God knows itulah dibutuhkan doa semalaman supaya kerja sehariannya bermakna. Semalaman dan seharian, bukan lagi kategori waktu, melainkan kategori kesadaran, keterpautan jiwa orang dengan Tuhannya.
Ya Allah, mohon rahmat keberanian untuk berdoa. Amin.
SELASA BIASA XXIII C/1
10 September 2019
Kol 2,6-15
Luk 6,12-19
Selasa Biasa XXIII B/2 2018: Ngajari Doa atau Ritual?
Selasa Biasa XXIII A/1 2017: Doa Filsuf
Selasa Biasa XXIII C/2 2016: Pemandu Bakat
Selasa Biasa XXIII A/2 2014: Pengikut Kristus Gak Mutu
Categories: Daily Reflection