Kekalahan Berkat

“God turns you from one feeling to another and teaches by means of opposites so that you will have two wings to fly, not one” (The Essential Rumi)

Teks hari ini menyampaikan dua kualifikasi, yang tak secara langsung terhubung dengan penyisihan Piala Dunia: sabda bahagia dan sabda celaka. Celakanya bukan bahwa Indonesia kalah, melainkan bahwa orang tidak belajar dari kekalahan (Indonesia). Memikirkan perkara-perkara ‘di atas’ versi Paulus tidaklah berarti mengabaikan fakta kekalahan, sebagaimana mematikan segala sesuatu yang duniawi versi Paulus tidak berarti abai terhadap problem korupsi. Sebaliknya! Justru mereka yang memikirkan perkara-perkara ‘di atas’ itu mengusahakan supaya perkara-perkara ‘di bawah’ tidak berjalan absurd.

Absurd bukan, mengimpikan Indonesia bermain di Piala Dunia tapi sejak saya SD tak kelihatan stamina pemain nasional bal-balan itu secara sistematis digenjot untuk bermain di level internasional? Tak usahlah muluk-muluk bicara strategi, taktik permainan, kecerdasan alias intuisi permainan, apalagi pelatih. Hambok Jürgen Klopp didatangkan pun, dengan stamina mediocre, permainan menjanjikan cuma ada di beberapa menit awal sampai babak pertama hampir usai. Seluruh kecerdasan taktik dan kelihaian teknik bermain takkan kelihatan manakala energi tinggal nol. 

Tentu unĕg-unĕg itu bukan tanpa alasan. Teks bacaan hari inilah yang jadi alasan. Guru dari Nazareth memelototi murid di sekelilingnya lalu omong soal dua tendensi dalam hidup orang yang layak diberi label ‘terkutuk’ atau ‘teberkati’ [tidak ada di KBBI seperti kata ‘teperdaya’, mungkin karena kata dasarnya bukan ‘perdaya’ melainkan ‘daya’, sedangkan teberkati berkata dasar ‘berkat’, tetapi mengapa kata dasar ‘percaya’ jadi tepercaya? Absurd].
Yang teberkati adalah murid-murid yang miskin, lapar, tersisih, menangis. Tentu berkatnya bukan kemiskinan, kelaparan, ketersisihan, kesakitan, kekalahan, kegagalannya. Kalau Guru dari Nazareth mengatakan ‘berbahagialah kamu yang miskin’, ia tidak sedang membahas kebahagiaan intrinsik dalam penderitaan seakan-akan yang menderita itu harus berbahagia.

Menurut saya, nuansa perkataannya berbunyi begini: meskipun kamu bersedih, susah, tersiksa, kelaparan, saat fokus perhatianmu ada pada perkara-perkara ‘di atas’, kamu teberkati! Kenapa? Karena kamu menangkap yang esensial. Maka, hati-hatilah kalau kamu menang, tertawa, sukses, kaya raya, korup, culas, manipulatif karena fokus perhatianmu ada pada perkara-perkara ‘di bawah’. Kenapa? Karena kamu tidak menangkap yang esensial.

It’s only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye. Entah sudah berapa kali tulisan Antoine de Saint-Exupéry itu saya sitir, tetapi memang begitulah. Guru dari Nazareth sama sekali tidak mengutuk kekayaannya, kemenangannya, kesuksesannya, dan sejenisnya. Dia mengingatkan supaya pendengarnya tak tertipu: kekayaan dan kepuasan tidak memberikan apa yang mereka janjikan. Kekayaan, hidup mewah, menjanjikan hal-hal yang tak bisa dipertahankan oleh kekayaan atau hidup mewah itu sendiri: kegembiraan hidup, kedamaian, ketenangan, kebebasan. Itu sudah saya singgung pada posting Need or Greed.

Investasi terbaik justru adalah perkara-perkara ‘di atas’ tadi karena dengan investasi seperti itu, perkara-perkara ‘di bawah’ dipecahkan dengan prinsip yang tepercaya, dengan karakter.
Tuhan, mohon rahmat supaya kami senantiasa terarah pada
-Mu. Amin.


RABU BIASA XXIII C/1
11 September 2019

Kol 3,1-11
Luk 6,20-26

Rabu Biasa XXIII B/2 2018: Politik Dua Kaki
Rabu Biasa XXIII A/1 2017: Merampas Anugerah?
Rabu Biasa XXIII C/2 2016: Hidup Seolah-olah

Rabu Biasa XXIII B/1 2015: Besar Upahmu di Surga

Rabu Biasa XXIII A/2 2014: Married Oke, Jomblo Bahagia