KaPeKa

Dua puluh tahun lagi mungkin mobil itu saya tabrak. Ini hitungan sepersekian detik dan tahun ini saya masih bisa cukup cekatan, tetapi dua puluh tahun lagi, kalau saya masih bisa mengendarai motor, saya pilih untuk menabrak mobil itu.
Iki apa ta, Ma, ujug-ujug ngomyang nabrak mobil?
Iya, teringat posting Lampu Hazard dua tahun lalu. Kiranya pengemudi mobil itu tak membacanya, atau dia bebal alias mau jadi tuan atas hukum.
Lha ya kuwi rak malah cocok karo bacaan dina iki ta, Ma? Kan dibilang manusia adalah tuan atas hari Sabat?
Itu betul skale’ tapi ‘tuan’ itu juga punya kualifikasi, bukan cuma sekadar tak peduli hukum atau aturan.

Tapi, kembali ke tabrak-tabrakan tadi, kenapa ya saya pilih untuk menabrak mobil itu?
Pertama, karena saya mengendarai motor. Artinya, bahkan meskipun motor bikin penyok itu mobil, yang disalahkan tetaplah mobil!
Kedua, saya tidak merasa salah karena memang saya tak menyalahi aturan. Ini butuh imajinasi untuk memahaminya. Menjelang perempatan jalan yang relatif sempit tanpa APILL itu saya menanti mobil dari arah kanan perempatan lurus ke kiri perempatan. Saya memperlambat laju motor saya mendahulukan iringan mobil yang moncongnya sudah sampai di tengah jalan, dan ketika buntut mobil terakhir ada di tengah perempatan, saya memacu motor saya untuk lurus tetapi karena mobil yang memberi sein ke kiri mendesak maju, saya membelokkan motor sedikit ke kiri, tetapi ternyata mobil itu terus bergerak maju!

Blaikkkk! Saya mengerem motor saya. Rupanya pengemudinya menyalakan lampu hazard. Saya berpikir positif bahwa untuk berbelok ke kiri dia butuh ancang-ancang dan melewati titik tengah perempatan sehinggi saya geser ke kiri supaya cukup untuk dia berbelok, tetapi dia jalan lurus! Kedondong těnan ki. Pikirnya untuk jalan lurus melewati perempatan itu orang harus menyalakan lampu hazard! Ya ampun dodol! Anda itu berkendara perhatikan sebelah kiri juga dong! Yang sebelah kiri gak bisa lihat hazard menyala karena yang kelihatan cuma lampu sein kiri.
Ah cuma gitu doang, Rom!
Ya makanya, dua puluh tahun lagi saya pilih tabrak mobil itu. Kalau perlu dari rumah saya pasang tombak baja untuk melubangi body mobilnya sekalian. Kan cuma gitu doang.
Romo kok pendendam!

Tuan atas hukum justru kelihatan bodohnya ketika ia bertindak semata-mata dengan patokan jangan melakukan yang dilarang dan lakukanlah yang diperintahkan dan di luar itu, sesuka hatinya.
Tuan atas hukum mengerti batas-batas perintah dan larangan dan memanfaatkannya untuk mengambil tindakan yang membawa maslahat bagi kepentingan bersama. Maka, sejauh tidak dilarang, ia memang boleh melakukannya tetapi tetap berpatokan pada kemaslahatan bin bonum commune. Tidak hanya itu, bahkan meskipun diperintahkan, tetapi jika perintah itu tak relevan bagi kepentingan nilai hidup bersama itu, tuan atas hukum bisa menangguhkannya.

Nah, ujung-ujungnya kembali ke orientasi niat baik demi kepentingan bersama, bukan? Boleh saja bilang merevisi hukum demi kinerja KaPeKa yang lebih baik, tapi lebih baik buat siapa, gitu kan. Semoga presiden ini peka dan tidak melemahkan KaPeKa. Amin amin amin.


SABTU BIASA XXII C/1
7 September 2019

Kol 1,21-23
Luk 6,1-5

Sabtu Biasa XXII A/1 2017: Lampu Hazard
Sabtu Biasa XXII C/2 2016: Full Day’s Work

Sabtu Biasa XXII B/1 2015: Kebugaran Rohani
Sabtu Biasa XXII A/2 2014: Awas Jangan Salah Tekan