Saya sisipkan foto dua ibu negara tanpa perlu saya beri caption. Pokoknya, silakan sejenak menikmati kecantikan perempuan dalam foto ini, tanpa perlu ribet-ribet mencari tahu siapa mereka dan latar belakang mereka bagaimana.
Dua perempuan ini juga berfoto dengan posisi berbeda dan beberapa hari lalu ada yang memamerkannya di medsos dengan caption yang menurut pemberi captionnya disalahpahami sebagai penghinaan. Padahal, mungkin yang salah paham malah si pemberi captionnya sendiri.🤭
Nah, cara memberi caption inilah yang saya pakai untuk mengerti teks bacaan hari ini. Fokus foto ini jelas ada pada dua perempuan yang saling berhadapan. Dua-duanya sama-sama membuka mulut, entah mulai tertawa/bicara atau selesai tertawa/bicara. Karena Anda tahu yang kiri bernama Kim dan yang kanan bernama Iriana, bolehlah Anda memberi caption dua ibu negara bercengkerama. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, bisa jadi caption Anda jadi lebay karena yang kelihatan justru ideologi Anda, pemberi caption. Misalnya, saya sudah memberi label bahwa keduanya adalah perempuan cantik, dan Anda boleh memprotesnya karena selain istri atau gebetan Anda, di dunia ini tak ada perempuan cantik. Anda juga boleh saja mengatakan yang kiri lebih cantik dan stylish daripada saya meskipun kami seusia.🤭
Maksud saya, ulang lagi, ada jenis melihat yang pijakannya bukan lagi objeknya sendiri, melainkan penilaian, pikiran, kriteria, selera kita sendiri. Itulah yang disodorkan dalam kalimat pertama teks bacaan hari ini: Orang banyak berdiri di situ dan melihat semuanya. Setting tempatnya adalah Kalvari, bukit penyaliban Yesus. Bukit ini jadi semacam panggung pertunjukkan dan orang yang menontonnya memberi caption seturut ideologi mereka sendiri. Saya hanya membahas caption pertama saja: “Orang lain dia selamatkan, biarlah sekarang dia menyelamatkan dirinya sendiri kalo dia memang Mesias yang dipilih Allah.”
Saya tidak ambil pusing dengan label Mesias yang diragukan oleh pemberi caption itu. Yang saya persoalkan adalah ideologi si pemberi caption itu: Mesias mesti bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Bisa jadi, di balik itu juga ada ideologi: selamatkanlah diri sendiri sebelum (berlagak) menyelamatkan orang lain.
Ideologi itu rupanya dianut oleh banyak orang, apa pun agama dan keyakinannya: cari selamat diri sendiri, tabrak lari, lempar batu sembunyi tangan, dan seterusnya. Katakanlah ini alamiah untuk dunia satwa, karena toh orang juga lebih cocok dimasukkan dalam dunia fauna daripada flora. Akan tetapi, justru itulah persoalannya jika orang hanya melihat dirinya dalam habitat fauna, bahkan meskipun punya keunggulan dalam membangun ideologi daripada satwa lainnya. Ideologinya jadi: cari selamat sendiri at the cost/expense of keselamatan orang lain!
Persis ideologi itu yang tidak dihidupi oleh Yesus yang jadi tontonan. Tuntunannya berlawanan dengan ideologi keselamatan yang sifatnya sangat sektarian, parokial, tribal, alih-alih langgeng dan universal. Itu juga maksudnya kalau Kristus diberi label raja semesta alam; sangat tidak masuk akal jika dia bertahta entah di semesta sebelah mana dan mengatur semesta dengan ideologi yang dari zaman ke zaman ditunjukkan oleh aneka rupa dinasti, rezim, kekaisaran, kerajaan, partai politik, dan sebagainya.
Raja semesta alam itu baru masuk akal jika habitatnya adalah hati manusia yang mengikuti tuntunannya, yang nota bene tidak identik dengan beragama KTP Kristen/Katolik: yang dalam mengejar keselamatannya juga mempertimbangkan keselamatan orang lain, bahkan bisa jadi keselamatannya diperoleh dalam tindakannya menyelamatkan orang lain. Caption seperti ini barangkali tidak mudah dimengerti.
Tuhan, mohon rahmat supaya hati kami semakin terbuka pada kerajaan-Mu. Amin.
HARI RAYA KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM C/2
Minggu, 20 November 2022
2Sam 5,1-3
Kol 1,12-20
Luk 23,35-43
Posting 2019: Kapten Kiper
Posting 2016: Hari Gini Kerajaan
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.