Adveniat Regnum Tuum

Anda tahu bahwa nabi pada umumnya tak disenangi kaumnya sendiri. Tak usahlah nabi, orang biasa dengan maksud baik memberi koreksi pun belum tentu disenangi oleh pihak yang dikoreksi. Akan tetapi, gambaran Nabi Muhammad yang dibenci kaumnya sendiri lebih terngiang di kepala saya karena narasinya lebih detail daripada misalnya bagaimana orang-orang kampung Yesus dari Nazareth berusaha mendorongnya ke jurang.

Konon, perseteruan antara pengikut Nabi Muhammad dan kaum Quraisy dengan basis Makkah itu sedemikian awet dengan diwarnai aneka konflik bersenjata (yang sudah jamak terjadi dalam dunia tribalisme) sampai tiba saatnya menjelang penaklukan Makkah. Keputusan Nabi Muhammad untuk melakukan umroh bersama ratusan pengikutnya menimbulkan dilema bagi kaumnya di Makkah. Di satu sisi, reputasi mereka sebagai penjamin keselamatan para peziarah akan hancur kalau mereka menyerang pengikut Nabi, yang tentunya tak bersenjata perang; begitu juga jika mereka menolak Nabi menjalankan umroh di Makkah. Di lain sisi, jika mereka membiarkan rombongan peziarah masuk ke Makkah, dan jebulnya malah merebut kota Makkah, apa kata dunia?

Betul saja, singkat cerita, rombongan Nabi memang merebut Makkah, tetapi tidak dengan cara yang terbayangkan dalam konteks tribalisme. Perebutan atau bahkan penaklukan Makkah tidak terjadi dalam bingkai perang Baratayuda atau invasi modern ala negara adidaya. Ini adalah ‘perang’ yang barangkali tak terantisipasi oleh pengikut Nabi sendiri, yang sebetulnya bertaruh juga: dapatkah mereka mempertahankan gencatan senjata sampai kaum Quraisy sepenuhnya menerima Islam? Syukur kepada Allah, Sang Nabi tidak sekadar menerapkan taktik atau strategi perang, tetapi memercayakan masa depannya dan semua yang percaya kepada penyelenggaraan Allah sendiri. Alhasil, justru dalam absennya perang, justru dalam gencatan senjata itu, kepentingan yang selama ini diperjuangkan Sang Nabi bahkan lewat perang, malah terwujud: kaum Quraisy memahami Islam dan menerimanya.  

Tentu saja, dalam perang, tidak ada saling pemahaman. Dalam damai, orang tetap bisa berargumentasi, berdebat, berdiskusi, berbeda pendapat, tetapi tautannya tetap pada apa yang dikehendaki Allah bagi semua. Lama kelamaan, malah kelihatan bagaimana Yang Tak Kelihatan itu bekerja sehingga berlakulah seruan adveniat regnum tuum (bacanya atveniat renyum tuum; datanglah Kerajaan-Mu).

Dalam bingkai itu pula saya memahami teks bacaan hari ini: jika ada politik yang pantas dihidupi umat beriman, politik itu adalah politik kerajaan Allah; bahkan jika ada kekerasan yang layak diadopsi orang beriman, kekerasan itu adalah kekerasan Allah sendiri, yang pada waktunya melunakkan hati orang. Di situ, bukan lagi kerajaanku, kerajaanmu, kerajaannya, dan seterusnya, melainkan kerajaan Allah sendiri. Jika pilihan tindakan orang beriman muncul dari situ, kapan dan bagaimana pun kiamat itu datang, orang beriman tidak akan mati dalam penyesalan.

Tuhan, mohon rahmat pengertian mendalam akan senjata terang-Mu sehingga pilihan-pilihan hidup kami sesuai dengan standar kerajaan-Mu. Amin.


HARI MINGGU ADVEN I C/2
27 November 2022

Yes 2,1-5
Rm 13,11-14a
Mat 24,37-44

Posting 2019: Jangan Kebobolan
Posting 2016: Allah Kok Ditunggu