Metanoia

Sebagian dari Anda atau tetangga Anda mungkin sudah melakukan perayaan Natal nan megah di awal Desember ini, entah di gereja atau di mol, entah dengan ornamen sinterklas atau lagu-lagunya, entahlah. Saya sendiri tak pernah antusias dengan perayaan Natal selepas lulus SD; bukan karena tak ada lagi kebiasaan terima pakaian (bekas) sumbangan atau tukar kado yang mengasikkan, melainkan karena saya merasa diri bukan anak-anak lagi. Di kepala saya, Natal itu pesta untuk anak-anak. Orang dewasa tentu saja bisa memeriahkannya, tetapi kemeriahan Natal orang dewasa justru  bukan pada selebrasinya, melainkan pada proses menuju selebrasi itu.

Teks bacaan hari ini menunjukkan proses yang diperlukan untuk melakukan selebrasi Natal dengan kata kunci metanoia. Yohanes Pembaptis meneriakkan kata kerja yang bersangkutan dengan metanoia ini. Gampangnya, ini adalah seruan pertobatan; tetapi akan menyesatkan jika tobat itu semata dipahami sebagai suatu romantisme, kembali ke yang dulu, ke masa firdausi sebelum Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Kata metanoia lebih cocok dimengerti sebagai upaya untuk mengubah secara total cara berpikir, bernalar, dan menilai kenyataan hidup orang.

Kata itu juga yang kemudian dipakai Yesus dalam karya publiknya, tetapi baiklah kali ini kita berfokus pada Yohanes Pembaptis. Rupanya orang ini pernah tinggal dengan kelompok orang yang hidup menyepi di Qumran, tetapi kemudian bergerak ke wilayah perbatasan di Bethabara untuk mulai membaptis mereka yang terpanggil untuk metanoia. Saya tidak akan berpanjang lebar: cara hidup Yohanes Pembaptis itu sendiri boleh jadi teguran bagi orang banyak dari segala zaman.

Di tempat Yohanes Pembaptis tinggal, tak ada ceritanya bahwa orang bisa hidup menumpuk harta dan hidup bagi dirinya sendiri. Hidup di padang gurun mengandaikan orang-orangnya saling bantu. Berjalan sendiri berarti habislah nyawanya. Menumpuk harta (air misalnya) berarti menghabisi nyawa orang lain. Penulis teks Matius hendak menegaskan bahwa Yohanes Pembaptis ini adalah sosok Elia yang datang kembali. Ini klop dengan bagaimana dia menggambarkan pakaian Yohanes: hanya yang fungsional untuk mencukupi hidup sebagai manusia, tidak untuk penampilan, ja’im, mode atau kepentingan politik korup.

Lalu, orang zaman now bisa berkomentar: ya itu kan di padang gurun, dan itu zaman jebot. Orang sekarang ya tidak hidup dengan mentalitas gurun jebot dong!
Justru itulah relevansinya metanoia: bukan untuk kembali ke padang gurun dan zaman jebot, melainkan untuk melanjutkan ziarah hidup juga dengan cara berpikir yang lebih terbuka pada kenyataan hidup padang gurun yang berlaku juga di medan hidup yang lebih luas. Kalau tidak, orang menyodorkan alasan moral religius kemanusiaan dan ujung-ujungnya malah melindas kemanusiaan itu sendiri. Begitu akibatnya jika orang tergila-gila dengan ideologi kapitalis atau sosialis belaka.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk bertobat supaya kerajaan-Mu sungguh terwujud dalam hidup kami. Amin.


MINGGU ADVEN II A
4 Desember 2022

Yes 11,1-10
Rm 15,4-9
Mat 3,1-12

Posting 2019: Setip Anyar
Posting 2016: Tobat Tuan Prihatin