Anda masih ingat pesan metanoia yang minggu lalu dicorongkan Yohanes Pembaptis di Bethabara: mengubah secara total cara berpikir, bernalar, dan menilai kenyataan hidup orang. Seruan ini rupanya membawa konsekuensi yang tidak sederhana, juga bagi Yohanes Pembaptis sendiri.
Teks bacaan hari ini tidak lagi menyinggung Bethabara, tetapi penjara di benteng Machaerus, tepi timur Laut Mati, desa Mukawir di Yordania. Penulis Injil dan sejarawan Flavius memberi alasan berbeda mengenai alasan pemenjaraan Yohanes. Yang umumnya didengar pembaca Injil ialah bahwa Yohanes ini begitu dalam memasuki ranah privat moral Antipas, yang berselingkuh dengan istri sodaranya sendiri (Herodes Filipus). Flavius menerangkan bahwa Yohanes dipenjara karena dia punya pengaruh untuk memobilisasi orang; supaya tidak bikin kacau, yang artinya bisa mengancam posisi Antipas sebagai raja vasal, pentolan gerakan ini dipenjara saja.
Dua alasan berbeda itu bisa saja berhubungan. Aneh gak sih kalau cuma gara-gara perselingkuhan njuk mesti menembak mati orang #eh memenjarakan orang dan kelak memenggal kepalanya? Kalau di film-film wuxia yang saya tonton penjelasannya sederhana: yang tahu banyak, dihabisi saja. Kritik Yohanes Pembaptis terhadap perselingkuhan Antipas bukan semata perkara moralitas individual Herodes, melainkan perkara kultural yang berujung politik juga: Antipas hendak mengukuhkan kekuasaan Romawi juga dengan cara mengadopsi kultur Romawi. Salah satunya ya ambil mengambil perempuan atau poligami itu adalah praktik wajar di dunia Romawi. Yohanes melihatnya sebagai pelecehan kultur monogami Yahudi yang berasal dari tradisi monoteis.
Nah, suara kenabian seperti itu bisa jadi ancaman politik bagi Antipas, selain bikin jengkel istri selingkuhannya. Karena Antipas ini adalah orang Yahudi, dia masih punya hormat-hormat sedikitlah pada sosok Yohanes Pembaptis sebagai tokoh religius bangsa Yahudi. Jadi, meskipun dipenjara, Yohanes tetap bisa terima kunjungan dari murid-muridnya dan di situlah muncul narasi teks bacaan hari ini. Murid-muridnya jadi bertanya-tanya apakah mereka mesti menunggu Mesias lain atau Yohanes itulah Mesias yang mereka ikuti.
Maklumlah, mereka tahu bahwa Yesus tadinya dibaptis Yohanes, lalu kok sekarang malah aktif berkarya dan malah bikin aneka penyembuhan di sana sini meskipun khotbahnya sama dengan yang dikhotbahkan Yohanes Pembaptis: bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat. Mungkin bagi para murid Yohanes Pembaptis itu aneh: sama-sama mewartakan tobat demi Kerajaan Allah, kok tone ancamannya gak ada. Guru mereka begitu keras mengkritik orang-orang Yahudi, tetapi Yesus ini kok malah berteman dengan pendosa, mendekati orang sakit yang dipercaya sebagai akibat kutukan Allah atas dosa-dosa mereka, makan minum pesta dengan para pendosa. Keknya enak banget gitu, kayak gak ada masalah dengan dosa-dosa mereka!
Alhasil, Yohanes Pembaptis pun ikutan galau. Dia tahu pasti bahwa dirinya bukan Mesias, tetapi sepertinya belum yakin betul apakah Yesus yang dilaporkan murid-muridnya itu Mesias yang mereka tunggu. Selama ini dia berkoar-koar mengenai Allah yang siap menghukum orang bejat dan menghancurkan orang laknat yang tak bertobat itu jadi gak relevan! Maka, dia minta murid-muridnya tanya langsung ke Yesus: Anda ini Mesias, atau kita mesti tunggu orang lain lagi? Payahnya, Yesus tidak terima yes-no questions! Jawabnya, ya kamu liat aja: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, dan seterusnya.
Sampai di sini, kita mungkin bisa memetik pesan dari pertanyaan Yohanes dan murid-muridnya. Konsep Mesias mana dulu nih yang kita pertanyakan? Kalo Mesias itu berarti sosok yang memenuhi harapan naif kita, takkan diragukan lagi hasilnya: kita akan kecewa dan frustrasi. Harapan naif itu seperti apa? Misalnya: karena Allah menjanjikan damai, cinta, dan keadilan, Mesias itu akan datang dan menciptakan situasi damai, cinta, dan keadilan bagi kita! Naif banget; kita tinggal ongkang-ongkang dan Mesias berjibaku mengubah hidup kita jadi damai dan seterusnya. Kita tinggal nonton di tribun dan Allah pontang-panting di lapangan bola penuh kekacauan dan kerusuhan dan membereskannya!
Kalau Mesias itu saya, dia akan bilang,”Ora sudi!”🤣
Dari teks tampaknya Yesus menegaskan peran Yohanes Pembaptis; dia lebih dari sekadar nabi yang berkoar-koar dan berteriak di padang gurun. Ia tidak menonton di tribun dan memakai pengeras suara, tetapi masuk dalam gelanggang untuk mewujudkan visi kenabiannya itu. Ia bukan seperti windsock yang menunjukkan dari arah mana angin datang; bukan juga anemometer yang mengukur kecepatan angin. Ia melawan arus!
Alhasil, Yesus tidak menjawab dengan rumusan atau atribut atau bahkan ayat suci, tetapi dengan apa yang senyatanya terjadi. Yohanes Pembaptis mesti mengubah pola berpikirnya bahwa Mesias itu bagaikan utusan Allah yang siap membawa hukuman atau siksaan kepada para pendosa. Nah, Yohanes Pembaptis sendiri mesti bermetanoia. Ia mesti menghancurkan konsepnya tentang Mesias yang naif. Akhirnya, setiap orang beriman juga semestinya seperti Yohanes Pembaptis yang bermetanoia: gagal, salah, luput, keliru, itu manusiawi, tetapi terlibat untuk mengatasi kegagalan, kesalahan, keluputan, kekeliruan, itu ilahi.
Tanpa kualitas itu (keberanian untuk gagal, salah, luput, keliru), orang beriman jalan di tempat, kalau tidak malah mundur. Orang yang takut gagal, takut melangkah, takut salah, akhirnya tak mengubah apa-apa dalam hidupnya dan konsep mesianiknya tetaplah naif sebagai konsep penonton entah di tribun, entah di kursi VVIP, entah di pinggir lapangan tempat fotografer.
Kabar gembiranya, Mesias itu bukan yang “di luar sana”, melainkan “di dalam sini”, yang memungkinkan orang beranjak dari segala macam ketakutan yang memacetkan hidup orang. Di sini, tiada gunanya berdoa mohon kekuatan Allah tetapi membiarkan rasa takut gagal dan takut salah mendominasi dan akhirnya orang tak berbuat apa-apa. Mesias apaan, jal?
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan dan keberanian untuk keluar dari cinta diri kami sendiri. Amin.
MINGGU ADVEN III A/1
11 Desember 2022
Yes 35,1-6a.10
Yak 5,7-10
Mat 11,2-11
Posting 2019: Kejutan Kecil
Posting 2016: Buat Apa Susah?
Categories: Daily Reflection