God Save the Gank

Curcol dulu. Saya mengucapkan nazar ketaatan hampir sekitar 30 tahun lalu ketika usia saya masih 20-an, tahun maksudnya, mosok bulan. Saya mesti taat kepada pemimpin geng saya, dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Tentu ada syaratnya: kalo’ pemimpin geng ini tidak mengeluarkan fatwa yang jelas-jelas mengarah pada kejahatan dosa. Sejauh ini memang gak ada; dan jelas juga akibatnya kalau tak ada nazar ketaatan ini, dari dulu mesti saya dah bikin aneka pemberontakan karena biar bagaimana pun, saya dan pimpinan geng saya adalah manusia yang punya kekuatan dan kelemahannya sendiri. Saya bisa bikin litani kesalahan pimpinan, dan sebaliknya, pimpinan bisa nimpuk saya dengan cacat cela saya. Ini sebetulnya tak beda-beda amat dari hidup berkeluarga. Kalau anggota-anggotanya berpatokan pada cacat cela anggota lainnya, pastilah amburadul keluarga itu.

Saya juga heran sendiri bagaimana saya bisa melampaui masa-masa sulit ketika mesti menjalani semacam mission impossible karena satu dua faktor yang meleset baik dari pihak saya maupun dari pihak pimpinan geng saya. Satu hal yang saya yakini selama itu: nazar ketaatan itu tidak semata-mata perkara saya patuh pada pimpinan geng, tetapi perkara saya mencari kehendak Tuhan lewat pimpinan geng itu juga. God save the gank! Dengan nazar ketaatan itu saya ingin menaati Tuhan, lewat pimpinan geng, bukan sekadar mematuhi orang lain yang juga lemah seperti saya.

Persoalan saya sekarang adalah: apakah mungkin manusia menaati Tuhan? Mungkinkah Anda menaati Tuhan yang misterius itu? Pernahkah Tuhan memberi perintah kepada setiap orang dari detik ke detik supaya orang-orang itu mematuhinya? Mungkinkah Tuhan menuliskan seluruh skenario hidup manusia, orang per orang, detik per detik? Kalau Anda bilang itu mungkin (karena Tuhan itu mahakuasa), saya bilang God must be crazy! Lebih masuk akal bahwa Tuhan seperti itu menurunkan perintah-Nya lewat Kitab Suci, lewat alam, lewat orang, dan sebagainya. Itu semua butuh tafsir, dan tafsir itu mengandaikan manusia memakai logika dan akalnya juga! Nah, Anda tahu kan kata Agnes Monica?

Cinta ini kadang-kadang tak ada logika
Bersih s’mua hasrat dalam hati
‘Ku hanya ingin dapat memiliki
Dirimu hanya untuk sesaat.

Cinta manakah yang dimaksud Agnes Monica di situ? Jelas dong: eros! Ini beda dengan cinta yang disinggung dalam teks bacaan hari ini: agape. Jangan salah, ini bukan perkara agape lebih baik daripada eros! Bukan gitu konsepnya. Logika eros dan logika agape berbeda, dan keduanya kadang tampak seperti tanpa logika, yaitu kalau logikanya dipertukarkan.

Jadi, yang dibilang Agnes Monica itu logikanya jelas: logika kepemilikan. Eros ya memang begitu orientasinya. Mboh dia sudah punya suami atau istri, pokoknya Anda ngotot ingin memilikinya, bahkan kalau cuma sesaat. Mbok tiap hari dikasih wejangan moral berbahasa Inggris bahwa wealth can trick us because it promises what it cannot give, eros akan mengompori orang untuk mengejar kekayaan sehabis-habisnya tanpa peduli proses atau aturan main yang menuntun orang pada agape. Maka, omongan soal agape, kasih ibu bagaikan sang surya menyinari dunia, gak ada artinya. Dalam logika kepemilikan ini, ungkapan Yesus hari ini “Jika kamu mencintai aku, kamu akan menuruti segala perintahku” bisa disalahartikan. Dalam eros, ungkapan itu benar-benar menempatkan orang jadi bucin: dia harus mengikuti kemauanku, atau sebaliknya, aku harus menuruti perintahnya.

Dengan begitu, Tuhan pun dimengerti dalam relasi bucin: Dia semata yang harus ditaati.
Konon, dalam Injil, ketaatan ala bucin, ketaatan pada komando atau perintah, itu cuma berlaku untuk kekuatan jahat, yang disimbolkan dengan setan, angin dan danau (Mat 8,27; Mrk 1,27; 4,41; Luk 8,25); ketaatan yang lainnya dalam Injil [dan Kitab Suci lain] lebih merujuk pada perkara iman. Ketaatan yang kedua ini lebih kreatif karena kontekstual, sesuai dengan keadaan dan situasi, tidak pukul sama rata sama rasa.

Alhasil, pun kalau masih memakai konsep ketaatan, perintah Allah tidak lagi dimengerti sebagai garis lurus komando. Barangkali jika diibaratkan itu seperti kedisiplinan: orang tahu tujuan dan jalannya ke sana. Kalau tak tahu jalannya ya cari atau bikin supaya sampai ke tujuannya itu. Kata de Mello, itu seperti sungai alami yang menciptakan disiplin atau tepiannya sendiri sampai muaranya di laut atau danau atau embung atau embuhlah pokoknya gitu deh.

Tuhan, mohon rahmat Roh Kudus-Mu supaya kami menemukan tapak-tapak cinta-Mu dalam hidup kami dan membagikannya kepada sesama. Amin.


HARI MINGGU PASKA VI A/2
14 Mei 2023

Kis 8,5-8.14-17
1Ptr 3,15-18
Yoh 14,15-21

Posting 2020: Citra Cinta
Posting 2017: Ateis Oportunis

Posting 2014: Haji Heribertus