Sekalinya membunyikan klakson, saya tekan papan kemudi lama sekali seiring hukum kelembamam yang mendorong badan saya ke depan lantaran saya mendadak tambah kekuatan rem mobil di persimpangan jalan. Dari jauh saya sudah membaca papan APILL belok kiri boleh langsung. Memang, menurut aturan tahun 2009, kalau saya tak salah, tidak ada lagi belok kiri boleh langsung jika tak ada papan APILL yang menunjukkan isyarat itu.
Saya di jalur kiri dan lampu sein belok kiri sudah saya aktifkan sejak 31 meter sebelum sampai persimpangan. Di depan saya tak ada kendaraan melenggang sehingga hanya mengurangi kecepatan sedikit untuk manuver ke kiri. Apa daya, pada titik tujuh meter sebelum lampu APILL, seekor motor dari jalur kanan mak bedunduk nyalip saya. Itu sebetulnya sudah cukup mengejutkan saya karena di jalur kanan depan saya itu kendaraan berhenti dan ruang untuk nyalip saya sempit sekali. Akan tetapi, yang membuat saya lebih terkejut lagi ialah bahwa setelah menyalip saya, alih-alih belok kiri, ternyata ia mengerem tepat di depan saya sehingga tak ada ruang bagi saya untuk berbelok ke kiri kecuali saya mau secara sukarela bikin uji kantung udara pada papan kemudi mobil.
Setelah berhenti sempurna dan papan klakson tak tertekan lagi dan penumpang belakang sudah mengambil posisi duduk semula setelah mental ke depan karena tak mengenakan sabuk pengaman, penunggang motor di depan bergeming. Saya menyalakan lampu dim berkali-kali dan akhirnya penunggang motor itu maju mundur menggeserkan motornya ke kanan. Saya pacu mobil pelan sembari menurunkan kaca jendela dan begitu posisi saya di samping penunggang motor tadi saya berteriak,”Halo, Mas. Met malem. Lain kali perhatikan juga pengguna jalan lain ya! Ingatlah, teks bacaan besok mengundang kita untuk ingat Tuhan dan berarti juga ingat ada ciptaan Tuhan yang lain yang juga butuh jalan. Jangan mentang-mentang kendaraan kecil bisa meliak-liuk nyalip sana-sini, njuk Anda main salip untuk ngerem di depan kendaraan lain sak karep wudelmu sendiri!”
Penumpang di belakang saya, orang Medan. Komentarnya,”Lah, sudah cepet-cepet buka kaca, cuman halo-mas doang.”😂
Jadi, dari sekian kata-kata khotbah yang saya lontarkan itu, hanya halo-mas yang dia dengar. Tentu, dia tidak bermasalah dengan telinganya, karena kalimat mulai dari “Met malem” itu memang cuma saya sampaikan dalam hati saya.🤭
Lha ngapain jal khotbah di jalan raya? Ngapain juga beremosi ria di jalan raya? Maklumi sajalah, mayoritas pengendara di negeri sini itu, dapat SIM-nya juga nembak; jadi ujian-ujian itu formalitas belaka dan mungkin dikerjakan orang lain karena kalau dikerjakan sendiri dijamin tak lulus.
Sekurang-kurangnya, itulah pengalaman saya. Tapi jangan salah, saya bukan pendukung tembak menembak juga meskipun saya pernah melakukannya ketika pindah kota. Saya pertama kali mendapatkan SIM di DKI dan saya ikuti semua ujian dari depan sampai belakang, dari pagi sampai siang terik. Hidup saya masih selo saat itu. Jadi, ikut ujian praktik pun no problemlaaa. Cuman, saya beruntung karena untuk ujian praktik waktu itu dipilih acak dan yang terpilih adalah orang di sebelah saya; dan saya lupa, gak terpilih ujian praktik kok bisa dapat SIM ya?😂😂😂
Tapi kembali ke halo-mas tadi, yang saya katakan dalam hati itu betul loh cocok untuk bacaan hari ini yang njelimet dengan kata-kata mempermuliakan dan milikku milikmu dan seterusnya. Itu adalah rangkaian diskursus dan doa Guru dari Nazareth dalam perpisahan dengan murid-muridnya. Betul murid-murid ini mestilah melanjutkan visi misi guru mereka, tetapi rupanya Sang Guru itu tidak memohonkan kekuatan atau keberanian mereka, melainkan rahmat supaya mereka tak berkutat dengan diri sendiri, keluar dari egosentrisme atau sikap self-sufficient dan terbuka bahwa dunia seluas ini memerlukan Allah yang maujud dalam kepedulian akan kebutuhan sesama.
Semakin perspektif horisontal yang ditebalkan, semakin orang gampang melihat konflik kepentingan seperti tokoh halo-mas tadi. Keinginannya untuk antre di depan pada jalur kiri, ketidakmauannya untuk antre di belakang jalur kanan, bertabrakan dengan maksud belok kiri boleh langsung dan kepentingan saya untuk belok kiri. Memang tidak ada larangan berhenti di jalur kiri, tetapi kalau ia tidak mau antre di jalur kanan dengan cara nyalip kendaraan yang hendak berbelok ke kiri dan berhenti karena lampu merah, ia merebut hak jalur kiri secara brutal.
Bacaan hari ini tampaknya mengidealkan perspektif vertikal yang mesti ikut ditebalkan, bukan menggantikan perspektif horisontal. Fungsinya jelas, supaya perspektif horisontal itu lebih fair, lebih terbuka bagi semakin banyak pihak, dan bukannya malah jadi ajang emosi, represi, opresi, depresi, hipertensi, dan aneka kalkulasi yang mengesankan bahwa hidup ini seakan-akan cuma antara “kamu dan aku” dan tak pernah bisa jadi “kita”. Dengan kata lain, tanpa perspektif vertikal, seakan-akan di balik yang material ini tak ada hal yang dapat dan pantas diharapkan dan dipertaruhkan karena orang sudah punya self-sufficiency dari materi yang dikuasainya.
Tuhan, mohon rahmat keterbukaan supaya hidup kami yang serba receh ini tetap berlandaskan cinta-Mu yang perlu kami bangun bersama. Amin.
MINGGU PASKA VII A
Hari Minggu Komunikasi Sedunia
21 Mei 2023
Kis 1,12-14
1Ptr 4,13-16
Yoh 17,1-11a
Posting 2020: Menang Lagi
Posting 2017: Mau Tunggu sampai Pensiun?
Posting 2014: Sursum Corda
Categories: Daily Reflection