Jika kemarin skizofrenia mengingatkan Anda dan saya soal kemungkinan kita mengidap keterpecahan rohani (gak sambungnya pikiran, kata, dan perbuatan), hari ini narasi dua orang buta mungkin mengingatkan kebutaan Anda dan saya. Percaya saja sama saya, tidak ada kejadian dua orang buta kompak berteriak “Kasihanilah kami, Anak Daud!” Ini bisa-bisanya penulis Matius bikin cerita berdasarkan sumber-sumber yang dia punya. Karena tampaknya teks ini ditulis untuk orang-orang Kristen yang berlatar Yahudi, bisa kita terimalah bahwa “Anak Daud” ditonjolkan di situ demi legitimasi. Itu tak beda jauh dari Anda yang memilih caleg, cagub, camer, dan caca lainnya karena endorsement presiden atau bekas presiden, bukan?
Yang mungkin lebih baik kita cermati ialah bahwa penulis Matius menggambarkan dua orang buta itu “mengikuti” Yesus, yang tentu konotasinya berjalan di belakangnya. Lha iya, kalo mengikuti tapi di depan mah namanya atret. Lebih dari konotasi berjalan di belakang, ngapain juga penulis Matius repot-repot menggunakan pleonasme semacam ‘maju ke depan’ dan ‘ikut di belakangnya’? Tampaknya, perkaranya lebih pada kemuridan: bagaimana menjadi murid? Bisakah orang buta menjadi murid sosok yang mereka sebut “Anak Daud”?
Tentu saja, karena penulis Matius menyasar orang Kristen berlatar Yahudi, ia tidak sedang membahas soal orang jadi mualaf atau murtad atau apalah istilahnya. Ia menulis untuk orang dalam dan berarti tak menyinggung-nyinggung lagi perkara pertobatan. Lebih persisnya, tak usahlah menganggap orang lain di luar sana itu buta karena kebutaan tidak hanya menimpa orang luar: kebutaan rohani hadir di mana-mana dan jadi ancaman. Menariknya, penulis Matius yakin bahwa kebutaan rohani ini bisa disembuhkan tetapi hanya jika pengikut Yesus yang buta itu patuh pada peringatan Yesus: jangan berkoar-koar ya bahwa kalian kusembuhkan!
Dulu saya memahami larangan Yesus itu sebagai tindakan strategisnya: kalau ia jadi populer, jadi figur publik, malah tidak bebas lagi bergerak ke Yerusalem! Sekarang, saya meragukannya. Larangan itu saya tangkap dengan perspektif narasi Nabi Muhammad ketika memimpin pertempuran di Uhud. Pengikut Nabi Muhammad hampir saja memukul mundur pasukan Quraisy, tetapi hanya karena divisi pemanah di belakang tidak mematuhi taktik Nabi Muhammad, pasukan Quraisy berbalik mengalahkan pengikut Nabi Muhammad.
Poinnya? Penulis Matius menggambarkan poin teologis: tidak mungkin menjadi pengikut tetapi tidak mengikuti perintah Guru yang mereka ikuti. Hakikat kemuridan bukanlah keajaiban, kesembuhan, kesuksesan, kemegahan karena menyebut-nyebut nama tokoh yang diidolakan atau bahkan membela mati-matian tokoh favorit: ini adalah perkara melakukan perintah sosok yang diikuti itu. Dalam konteks Kristen itu berarti hakikat menjadi murid ialah ketaatan kepada sabda Yesus, yang disebut Kristus (Mat 7,21-23), yang sudah dibahas kemarin.
Pekerjaan rumah Anda dan saya ialah memeriksa kembali apakah yang Anda dan saya ikuti itu kata-kata Sang Guru atau tafsiran kita sendiri terhadap kata-kata Sang Guru itu? Kalau itu jebulnya tafsiran kita sendiri, kepada siapa tafsiran itu diabdikan? Ada loh yang begitu yakin bahwa Sang Guru memintanya membangun rumah ibadah megah tetapi dengan uang siluman atau uang pemerasan atau uang laundry atau prosesnya top-down melindas kepentingan lain. Yang begini ini tidak beda dari orang buta yang disembuhkan lalu berkoar-koar. Kebutaan rohani ada di mana-mana.
Ya Allah, mohon rahmat kerendahhatian supaya seluruh jerih payah kami boleh jadi wujud bantuan konkret-Mu bagi hidup kami bersama. Amin.
JUMAT ADVEN I
6 Desember 2024
Posting 2020: Believe it or not
Posting 2019: Paham Pancasila Rung?
Posting 2018: Saat Kaki Terinjak
Posting 2016: Jakarta Puas?
Posting 2015: Hati Teroris
Posting 2014: T3M vs M3T
