Biang

Published by

on

Salah satu kisah malam Natal dari teks bacaan hari ini memantik ingatan saya pada masa kecil saya saat saya memerankan Yosef berjalan bersama Maria (pemerannya jauh lebih cantik dari saya!). Tentu Anda tahu, saya tidak tahu apa yang saya perbuat saat itu, pokoknya ikut apa kata guru saja untuk berperan sebagai Yosef. Gampang kok, cuma jalan berdampingan, gak perlu omong apa-apa. Yang lebih banyak berperan adalah Maria (yang suaranya jauh lebih merdu dari suara saya!), karena dia mesti berdialog dengan malaikat Gabriel (saya lupa suaranya, mungkin masih lebih baik suara saya).

Salah satu ceritanya ialah bahwa kami ditolak di sana-sini dan harus akhirnya melahirkan boneka di luar penginapan. Ini keadaan hospitalitas yang sepertinya tak cocok dengan kekerabatan dalam masyarakat di wilayah Israel saat itu. Sebelum itu, ada momen ketika kami mesti berjalan pulang ke tempat asal untuk sensus penduduk di seluruh kekaisaran Romawi, yang ternyata tidak cocok dengan catatan sejarah. Pada saat Augustus berkuasa itu, tidak ada sensus. Entahlah. Akan tetapi, saya dapati juga waktu itu gembalanya unyu-unyu, dan itu tidak cocok dengan gembala pada masa kelahiran Yesus: mereka ini semacam kelompok nomaden yang kerap berkonflik dengan para petani karena gembala itu kerap merebut hasil pertanian untuk hewan-hewan peliharaan mereka. 

Cerita penulis Lukas tampaknya tak sinkron dengan catatan sejarah, tetapi kalau begitu, berarti memang ada maksud tertentu dari Lukas menyampaikan kisahnya secara begitu: Allah memberi damai bukan dengan kekuasaan ala Augustus (yang pendekatannya sangat militeristik), melainkan lewat sosok lemah yang dikerubuti oleh sosok-sosok lain yang juga terpinggir dari tatanan masyarakat. Sulitlah memahami Allah yang maha kuasa itu menjelma lewat sosok-sosok lemah.

Kenapa ya? Entahlah, mungkin karena penjelmaan itu menuntut effort dari pihak manusia; dan ingatan saya melayang kembali pada refleksi seorang dokter ketika bergumul bersama para pengungsi Merapa empat belas tahun silam. Ceritanya saya tuturkan dalam posting Habisi Gelap Terbitkan Terang. Ini klop dengan bacaan pertama hari ini: bangsa yang berjalan dalam kegelapan, telah melihat terang yang besar. Tidak isa orang dalam kegelapan melihat terang yang besar tanpa effort, sekurang-kurangnya, matanya perlu berakomodasi.

Betul juga, orang perlu adaptasi, tetapi pengandaiannya, orang itu tahu bahwa ia ada dalam kegelapan; dan itulah yang bikin saya alert. Anda dan saya bukanlah orang-orang yang tak percaya bahwa Allah bisa mengulurkan pertolongan, tetapi mungkin kita bukanlah orang-orang yang akrab dengan aneka data: jumlah pengangguran, PHK, tabungan, kredit macet, daya beli masyarakat, dan seterusnya.

Ini bukan perkara menyodorkan pesimisme. Sebaliknya, untuk membangun optimisme, orang perlu membaca data secara cermat, dan tidak asbun memberi keterangan yang tidak utuh atau seimbang dan membuai orang banyak sehingga tak lagi melihat dimensi gelap. Semua baik-baik saja.
Anda dan saya tidak dituntut untuk mengetahu seluruh data, tetapi mengambil keputusan dan berperilaku seperti prinsip penjelmaan Allah tadi: ada effort untuk bertindak dengan perspektif dari mereka yang tersingkir: waspada supaya tak jadi bulan-bulanan kekuasaan dan mengulang-ulang untuk menunjuk situasi eksternal sebagai biang masalah.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk meletakkan harga diri kami pada pelayanan cinta-Mu. Amin.


MALAM NATAL
Selasa, 24 Desember 2024

Yes 9,1-6
Tit 2,11-14
Luk 2,1-14

Posting 2021: Harga Diri
Posting 2019: Belajar Lahir Lagi

Posting 2018: (Soto) Anak Sulung

Posting 2015: Bukan Kelahiran Anak Tuhan

Previous Post
Next Post