Harga Diri

Praktik sensus penduduk mestinya sudah terjadi jauh hari sebelum catatan Lukas dibuat. Konon sudah ada catatan di Mesir dan Mesopotamia mengenai praktik itu dan selama itu mesti ada saja mereka yang tak mau disensus karena rupanya praktik sensus itu malah membahayakan eksistensi mereka. Seperti perkara vaksin pada zaman now, mestilah juga ada yang menolaknya dengan aneka alasan. Dalam arti tertentu, jika dilakukan dengan paksaan, praktik ini bisa jadi jalan untuk merealisasikan dominasi penguasa.

Menariknya, dalam teks Kitab Suci, sensus dinarasikan sebagai cara umat Israel menghitung berapa jumlah umat Allah secara faktual; bukan untuk membanding-bandingkannya dengan jumlah umat lain, melainkan untuk melihat kalau-kalau ada umat Allah ini yang hilang atau tersesat. Begitu kiranya sensus yang dimandatkan Allah kepada para pemimpin umat Allah; berbeda dari sensus yang dilakukan penguasa dunia: untuk menghitung jumlah warga di bawah kendali mereka dan akhirnya untuk menentukan kebijakan sedemikian rupa sehingga dominasi mereka bisa langgeng. 

Menariknya lagi, secara linguistik, dalam bahasa Ibrani, sensus penduduk ini tidak diwakili oleh kata kerja yang artinya ‘menghitung’ meskipun jelas-jelas bahwa sensus adalah perkara menghitung. Konon, dalam bahasa Ibrani itu, narasi sensus dimodali dengan frase yang kurang lebih berarti ‘angkatlah kepalamu’: orang mesti menegakkan kepala, membangun kepercayaan dirinya karena ia punya martabat, punya harga diri. Problemnya, apa itu harga diri orang? Dari mana dibangunnya?

Lagi-lagi menarik, Lukas menyodorkan konsep harga diri yang memuat paradoks. Ini kelihatan dari struktur narasinya sendiri. Paruh pertama ceritanya seakan-akan membentuk piramida terbalik: mulai dari sosok besar yang kuat sampai sosok terkecil yang lemah. Lukas tidak memakai nama Kaisar Octavianus, tetapi Augustus; untuk menunjukkan atribut yang erat dengan keilahian terhadap sosok kaisar Romawi yang saat itu sungguh mengalami zaman keemasan. Di bawah Kaisar ini disebutkan Kirenius, wali negeri Siria, yang juga menunjukkan orang besar, yang bisa berbuat apa saja yang dia mau karena kekuasaannya. Setelah itu disebut nama Yusuf, yang dihubungkan dengan Daud, tetapi jelas Daud adalah nama besar yang sudah meredup. Setelah nama Yusuf, dimunculkan Maria, perempuan, kelas sekunder; dan ujungnya adalah bayi, yang posisinya paling rentan. Begitulah jenjang harga diri dunia ini.

Paruh kedua narasi Lukas membalik jenjang itu: justru dari sosok bayi itulah harga diri yang disodorkan Allah bisa dibangun! Hanya saja, perspektif ini malah hanya bisa dimengerti oleh mereka yang ‘sederhana’, disimbolkan oleh para gembala (dan gembalaan mereka), yang terpesona oleh sang bayi. Ujung cerita ini adalah seruan pujian malaikat dan tentara surga dan begitulah harga diri yang disodorkan Allah: datangnya dari sosok lemah, tak terhitung sensus, tak terpandang, tak terbaca peta. Ini bukan harga diri kaum tertindas, melainkan harga diri kaum pelayan Sabda Allah.

Andaikan saja semua orang punya solidaritas dengan mereka yang tertindas, niscaya tak ada lagi tempat bagi piramida kekuasaan (entah terbalik atau tidak) karena semua berjibaku dengan pelayanan pada tempatnya masing-masing. Sayangnya, itu memang masih sebatas pengandaian yang realisasinya sangat sulit karena orang pada umumnya memakai paradigma piramida kekuasaan yang disodorkan paruh pertama teks Lukas. Dalam perspektif itu, pelayanan tidak pernah mengabdi liyan, tetapi mengabdi keagungannya sendiri, menjadi hamba kemauannya sendiri, dan seterusnya.

Tuhan, mohon rahmat kepekaan untuk meletakkan harga diri kami pada pelayanan cinta-Mu. Amin.


MALAM NATAL
Jumat, 24 Desember 2021

Yes 9,1-6
Tit 2,11-14
Luk 2,1-14

Posting 2019: Belajar Lahir Lagi
Posting 2018: (Soto) Anak Sulung

Posting 2015: Bukan Kelahiran Anak Tuhan