Kapankah kesuksesan orang lain memantik kegembiraan Anda? Atau, Anda tergolong mereka yang susah jika orang lain senang dan Anda senang ketika orang lain susah? Saya sendiri belakangan ini sudah kehilangan selera terhadap aneka bentuk kesuksesan, piala, kemenangan, dan sejenisnya. Bukan lantaran saya tidak senang jika atlet Indonesia menang, melainkan lantaran saya merasa dikelilingi oleh aneka kekuatan yang mengacak-acak proses.
Begini konkretnya. Saya ambil contoh dari dunia olah raga saja daripada politik, yang jauh lebih rentan terhadap pengacau dan dampaknya bisa juga sampai pada dunia olah raga. Sekian tahun saya mengikuti pertandingan sepak bola Indonesia di ajang internasional dan selama itu pula saya mengerti bahwa pada umumnya stamina atlet kita tak memadai untuk permainan 90 menit. Selain itu, bisa dimengerti, orang yang dalam kondisi lelah, sifat aslinya bisa keluar dengan mudah: gampang marah, sensitif, ngamuk, tidak rasional, ngambek, dan seterusnya. Dua hal ini disingkat sebagai perkara fisik dan mental.
Itu pula yang rupanya dalam lima tahun terakhir hendak dibenahi STY. Berhasilkah? Berhasil, tapi entah berapa persen karena, terkuak sudah bahwa ada problem konflik [yang diselesaikan dengan pemecatan, alih-alih pemecahan masalah]. Kartu merah lantaran pelanggaran-pelanggaran sepele juga bisa jadi indikator bahwa secara mental, atlet kita belum sepenuhnya mampu menata mental (yang bisa jadi juga akibat fisik lelah). Determinasi atlet yang tak terdukung kondisi fisik dan mental yang prima meragukan terjadinya proses yang progresif, lebih fluktuatif sifatnya.
Seperti itu jugalah yang membuat orang kehilangan antusiasme terhadap politik [lah kok nyinggung politik lagi]. Saya tidak ambil pusing siapa presiden, gubernur, atau kepala daerah; pada akhirnya toh pasti bukan saya; saya tinggal manut saja; tetapi proses bagaimana orang jadi presiden dll itulah yang memengaruhi selera saya. Jika prosesnya fair dan jujur tanpa rekayasa, kiranya orang kalah pun tidak akan menggugat, tetapi jika prosesnya memuat keculasan, pemenang tidak serta merta mendapat legitimasi etis. Celakanya, kemenangan seperti ini akan melahirkan proses serupa seturut ruang lingkupnya.
Teks bacaan utama hari ini mengindikasikan bahwa baik Yohanes Pembaptis maupun Yesus dari Nazareth sama-sama bekerja dengan kekhasan mereka. Menariknya, murid-murid Yohanes Pembaptis mengomplain murid-murid Yesus, yang sebagian darinya juga dulunya murid Yohanes. Menariknya, Yohanes Pembaptis memberi tanggapan yang bijak terhadap keluhan murid-muridnya sendiri yang berujung pada pernyataan untuk membiarkan orang lain menjadi besar dan kita meredup seturut fungsi untuk menyokong kemuliaan Allah.
Sayangnya, kebanyakan dari Anda dan saya, mungkin tidak keberatan dengan kemuliaan Tuhan, tetapi keberatan jika kemuliaan kita meredup. Maunya nebeng atau cawe-cawe terus setelah sekian periode.
Tuhan, mohon rahmat keterbukaan untuk mengutamakan kemuliaan-Mu di atas kemuliaan diri kami sendiri. Amin.
HARI BIASA SETELAH PENAMPAKAN TUHAN
Sabtu, 11 Januari 2025
Posting 2021: Hidup Berapi
Posting 2020: Belajar Merdeka
Posting 2019: Susahnya Visi-Misi
Posting 2016: Apa Yang Kupertuhankan?
Posting 2015: Compare? Despair!
