Bisnis apa yang lebih suci dari bisnis lainnya? Entahlah, tetapi kesucian ditentukan bukan oleh bisnis apanya melainkan oleh bagaimana bisnis dijalankan. Jadi, saya betul-betul tidak yakin bahwa semakin bisnis Anda berurusan dengan agama semakin sucilah bisnis Anda. Mungkin malah sebaliknya, kecuali jika ‘berurusan dengan agama’ itu artinya diinspirasi oleh nilai keadilan yang disodorkan para pendiri agama.
Joseph Stiglitz, pemenang Nobel pada awal millenium ini, menengarai ada dua cara untuk jadi sejahtera. Pertama, menciptakan kesejahteraan yang memungkinkan setiap orang menghidupi prinsip win-win solution. Kedua, mengambil kesejahteraan orang lain dengan prinsip win-lose solution. Bisnis apa pun, jika dipraktikkan dengan cara kedua ini kiranya jauh dari kesucian hidup.
Di negeri Kokononohaha tampaknya semakin sedikit orang berinvestasi dalam penciptaan kesejahteraan dan mungkin malah semakin banyak orang terlibat dalam pengembangan aneka skema untuk mendistribusikan kembali kesejahteraan dari si miskin dan masuk ke dalam kantong si kaya. Ini yang disebut Stiglitz sebagai rent seeking alias perburuan renten oleh para rentenier.
Teman saya menyewa sebuah lahan untuk buka usaha. Pemilik lahan sama sekali tidak cawe-cawe dalam usaha itu. Hanya karena punya lahan, dia menaikkan harga sewa lahan. Teman saya tak kuat membayar kenaikan harga sewa, jadi mesti tutup usahanya atau cari harga sewa yang lebih murah (dan mengurangi omzetnya). Mari simak bagaimana Tuan Lahan itu jadi rentenier: dia tidak menerima uang sewa sebagai imbalan atas apa pun yang dia lakukan untuk menciptakan kesejahteraan atau menumbuhkan ekonomi secara keseluruhan. Dia semakin sejahtera bukan karena usahanya sendiri, melainkan karena punya sesuatu yang tidak bisa dia gunakan dan orang yang bisa menggunakannya mesti membayarnya! Rentenier!
Menurut Stiglitz, perburuan rente jadi hobi favorit para CEO perusahaan, bankir, dan pedagang saham yang menciptakan segala macam skema culas untuk menghasilkan uang tanpa mengembalikan apa pun yang bernilai bagi ekonomi makro. Jadi, mereka mendapat cuan bukan sebagai imbalan atas upaya penciptaan kesejahteraan, melainkan dengan mengambil bagian yang (lebih) besar dari kesejahteraan yang seharusnya dapat dihasilkan. Dengan kata lain, pemburu renten memupuk dan memusatkan kekayaan ke atas (siapa kuat dia menang) dan mereka jadi mesin utama dari ketidakadilan ekonomi.
Perilaku perburuan rente punya berbagai wajah, mungkin wajah Anda dan saya termasuk di dalamnya jika kita kehilangan hidup yang autentik: jadi guru (ASN) demi keamanan finansial, jadi ahli hukum untuk kapitalisasi kasus, jadi pejabat untuk melipatgandakan kekayaan (pertama-tama kembalikan dulu biaya pilkada!), dan seterusnya. Begitulah jadinya jika ekonomi-politik-agama diceraikan dari tuntunan etis dan semakin membatinkan suatu “etika ndhasmu”. Mau sampai kapan pun, perburuan renten ini tak akan membuat pertumbuhan ekonomi 8% atau program makan gratis bergizi tak berkontribusi signifikan bagi transformasi sosial.
Teks bacaan utama hari ini menunjukkan kemungkinan bahwa seorang pemburu renten pun bisa jadi murid Guru dari Nazareth. Syaratnya ya memang mesti meninggalkan cara culas merebut kesejahteraan orang lain dan mencari jalan baru keadilan yang membuat kesejahteraan tersebar ke mana-mana. Ini tidak bisa dipecahkan hanya dengan mengeluarkan uang pribadi demi memberi makan kepada jutaan anak. Butuh pertobatan kolektif untuk membebaskan diri dari mentalitas pemburu rente.
Tuhan, mohon rahmat kebesaran hati untuk menanggalkan mentalitas pengemis, memburu kesejahteraan orang lain tanpa usaha signifikan bagi kesejahteraan bersama. Amin.
HARI SABTU PEKAN BIASA I C/1
18 Januari 2025
Posting 2021: Jalan Buntu
Posting 2019: Opname Kata-kata
Posting 2017: Kerja Miapah
Posting 2016: Batu Sandungan
Posting 2015: Bukan Karena Rupamu
