Saya andaikan Anda sudah melihat film Istirahatlah Kata-kata dan mungkin judul film itu bisa jadi rangkuman refleksi minggu ini, terhitung sejak hari Minggu lalu sampai senggolan debat capres-cawapres kemarin. Film itu, meskipun tak harus menyandang predikat film bagus, saya kira penting untuk menangkap suatu konteks hidup di penghujung kekuasaan rezim Soeharto yang sudah tiga dekade berlangsung. Judul film itu sendiri sudah merupakan suatu contradictio in terminis karena kata-kata tak pernah istirahat kecuali bagi mereka yang hendak mencari kekosongan dengan meditasi tanpa objek, tanpa imajinasi. Kata-kata yang tak pernah istirahat ini dalam film itu ditampilkan sebagai kekuatan menakutkan bagi penguasa.
Teks bacaan pertama hari ini menuturkan efektivitas dan daya hidup Sabda Allah, yang dalam sejarah menyatakan diri melalui aneka macam medium, tapi tampaknya yang paling populer adalah kata-kata, yang diwartakan kepada para nabi, yang diproklamasikan lewat penampakan-penampakan (yang minggu lalu dirayakan Gereja Katolik), yang menginspirasi dan dituliskan dalam aneka buku oleh banyak orang dan komunitas iman. Kata penulis surat hari ini, kata-kata yang merupakan manifestasi Sabda Allah itu “hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita”.
Dalam teks bacaan kedua, kata-kata undangan Sabda Allah itu menggerakkan orang yang sudah akut dengan hoaks kehidupan. Kok bisa ya? Kenapa tidak menggerakkan orang lainnya yang juga akrab dengan hoaks kehidupan? Ya memang itulah persoalannya: bahkan Allah Yang Mahakuasa itu tetap memberi ruang kebebasan kepada manusia ciptaan-Nya, termasuk kebebasan untuk tidak mendengarkannya. Itu seperti secanggih-canggihnya komputer desktop Anda, begitu batere CMOS dicabut, kacaulah kinerjanya.
Memang mendengarkan bukan perkara mudah. Kata-kata yang merupakan manifestasi Sabda Allah kerap kali ambigu, susah dimengerti, jadi batu sandungan dan bahkan kontradiktif. Akan tetapi, kata-kata ini sungguh hidup dan menggerakkan orang yang sungguh menginginkan kebaruan hidup. Kata-kata itu membuat orang berpikir, mengarahkan orang untuk memilih dan berpihak pada kebenaran sejati, bukan kebenaran tribal yang diperjuangkan demi kepentingan (kelompok) sendiri, yang membantu orang untuk melakukan discernment, yang membuat fine-tuning bagi jiwa orang beriman. Kata-kata seperti ini tak pernah beristirahat, sungguh hidup setiap saat. Satu dua kali mungkin perlu opname supaya daya hidupnya lebih segar.
Akan tetapi, seperti kata Wiji Thukul, kata-kata seperti itu, jika diibaratkan bunga, adalah yang tak dikehendaki tumbuh oleh orang-orang yang senang dengan hoaks, oleh mereka yang gemar membolak-balik fakta, oleh mereka yang suka playing the victim, oleh mereka yang bermata gelap untuk kekuasaan.
Sayang sekali, Sabda Allah mengundang orang bukan pada kekuasaan, melainkan pertobatan. Sabda Allah tidak menjanjikan kelimpahan uang, tetapi iman yang matang. Dengan demikian, kata-kata yang menjadi manifestasi Sabda Allah tak pernah jadi slogan penutup kemunafikan mereka yang senantiasa mengejar kekuasaan.
Tuhan, semoga kata-kata kami senantiasa terarah pada Sabda-Mu yang menghidupkan keberanian orang untuk melawan kepalsuan hidup. Amin.
HARI SABTU PEKAN BIASA I C/1
19 Januari 2019
Posting Tahun B/2 2018: Tatapan Jumanji
Posting Tahun A/1 2017: Kerja Miapah
Posting Tahun C/2 2016: Batu Sandungan
Posting Tahun B/1 2015: Bukan Karena Rupamu
Categories: Daily Reflection