Manusia tak perlu merias diri atau tampil baik di hadapan Allah supaya dicintai-Nya tanpa syarat. Wong namanya cinta tanpa syarat, tentu tak ada batasan apa-apa. Allah memanggil manusia dengan cinta-Nya pada momen mana pun, dalam status apa pun. Keyakinan ini nemplok di kepala saya ketika kemarin di antrean lampu merah saya lihat seorang laki-laki, begitulah label gender yang saya pakai, yang tampak sudah begitu tua. Dugaan saya, wajahnya dulu dipermak dengan operasi plastik tetapi plastik apa saya tak bisa menduga. Pokoknya, wajahnya tidak tampak alamiah, begitu pula dengan dadanya. Barangkali dulu ia mengamen dengan dandanan menor, tetapi sekarang yang saya lihat dia berjualan kemoceng.
Teks bacaan hari ini mengembalikan penglihatan itu. Sebagian kaum beragama memakai perspektif hukum agama untuk melihatnya: ini lelaki yang hendak menyalahi kodratnya, melawan hukum Tuhan sendiri, berdosa, dan seterusnya. Dengan perspektif penglihatan itu, orang beragama cenderung memandang lelaki seperti itu dengan rasa jijik, tak suka, risih, dan sejenisnya. Saya tak tahu apa yang dipikirkan Guru dari Nazareth jika beliau melihat orang seperti ini, tetapi saya yakin, secara prinsip tak akan berbeda jauh dari yang dipikirkannya ketika melihat pemungut cukai yang dibenci oleh masyarakat saat itu.
Dalam diri lelaki di pinggir jalan itu saya melihat manusia yang menemui jalan buntu hidupnya, sebagaimana Lewi yang dikisahkan dalam teks bacaan hari ini. Setiap orang bisa mengambil pilihan yang berbeda-beda atas jalan buntu hidupnya, dan bagaimana dia memilih sangatlah bergantung pada disposisi dirinya, kemampuan menalarnya, imajinasi, kehendak, passion, dan seterusnya. Kalau begitu, bahkan jika orang malas berhadapan dengan jalan buntu dan putus asa, kemalasan itu tidak berdiri sendiri. Bisa jadi kesempatan yang minim dan modalnya yang berdengkul membuatnya apatis. Kesempatan dan modal itu juga tidak otomatis bisa memecahkan jalan buntu hidup orang. Ini njelimet.
Meskipun demikian, senjelimet apa pun, kisah bacaan hari ini mengindikasikan bahwa Tuhan memanggil orang, bahkan yang sudah dihakimi sebagai pendosa. Ia tidak harus jadi suci dulu supaya dicintai Allah. Sebaliknya: orang yang menanggapi cinta Allah itu berjalan ke arah kesucian. Begitulah dinamika hidup orang beriman: perbuatan baiknya mengalir karena cinta Allah dan untuk mencintai Allah, bukan supaya dicintai Allah. Maka dari itu, juga orang seperti lelaki yang saya lihat di jalan kemarin, dalam keterbatasannya tetap diterima Allah supaya hidupnya, bagaimanapun, berbuah. Tiada jalan buntu.
Tuhan, mohon rahmat supaya hidup kami memungkinkan sesama dapat menanggapi panggilan cinta-Mu. Amin.
HARI SABTU PEKAN BIASA I B/1
16 Januari 2021
Posting 2019: Opname Kata-kata
Posting 2017: Kerja Miapah
Posting 2016: Batu Sandungan
Posting 2015: Bukan Karena Rupamu
Categories: Daily Reflection