Euforia

Sekali lagi iklan Antoine de Saint-Exupéry: what is essential is invisible to the eye. Saya belum bosan karena de facto penerimaan orang terhadapnya cenderung cuma di bibir. Dalam posting Mens Sana kemarin sudah saya indikasikan bahwa jika Guru dari Nazareth datang menyembuhkan orang, beliau menginginkan kesembuhan yang menyentuh what is essential.

Apa mau dikata, Guru dari Nazareth disalahpahami. Orang sakit kusta itu bagaikan penerima vaksin Covid-19 yang segera setelah divaksin njuk hip-hip hura bersama teman-teman dan protokol kesehatan diabaikan. Alih-alih memenuhi protokol keagamaan, euforia mantan penderita kusta itu menambatkan perhatiannya pada luar biasanya kesembuhan fisiknya. Betul, memang luar biasa, tetapi bukan segala-galanya. Betul, kesembuhan fisiknya itu mukjizat, tetapi itu bukan yang esensial, dan diwartakannyalah yang tidak esensial itu!

Kisah hari ini secara lebih eksplisit menunjukkan mana yang esensial itu. Yang disembuhkan adalah seorang yang lumpuh. Akan tetapi, kelumpuhan fisik bukanlah target akhir penyembuhan oleh Guru dari Nazareth. Ada kelumpuhan yang lebih dasariah, yang invisible to the eye: kelumpuhan jiwa, mental, roh, hati, budi, dan apa pun istilahnya. Nota bene, pandangan hidup pada zaman Guru dari Nazareth bisa dilacak dari posting Some Notes on Healing.

Beliau tahu benar apa artinya “sakitnya tuh di sini” dan caranya menyembuhkan kelumpuhan itu langsung pada pokok masalahnya,”Hai, Nak, dosamu sudah diampuni.” Saya kira kok beliau tidak bermaksud berpolemik dengan para pemuka agama mengenai siapa yang berhak mengampuni dosa. Semua orang sudah tahu. Akan tetapi, mari lihat bagaimana Guru dari Nazareth bisa-bisanya mengatakan begitu (selain karena compassion), yaitu ketika beliau melihat iman mereka.

Yang lumpuh satu orang kok Guru dari Nazareth ini melihat iman mereka? Mereka adalah empat orang yang membawa orang lumpuh ini menembus kerumunan orang banyak supaya dia bisa berada dalam jangkauan Guru dari Nazareth. Mereka mengharapkan kesembuhan si lumpuh. Begitulah penulis Markus hendak menyampaikan poin bahwa keselamatan tidak bersifat privat. Ini bukan perkara dulu-duluan mendapat vaksin, atau cari selamat sendiri, melainkan perkara membuat keselamatan dapat diakses oleh semua, dalam komunitas kemanusiaan.

Maka, kelumpuhan yang lebih gawat ialah kelumpuhan cara berpikir yang mendahulukan kesejahteraan diri daripada kesejahteraan bersama; keselamatan diri di atas keselamatan bersama; dan seterusnya. (Bdk. posting Jakarta-Indonesia PP) Seperti disodorkan dalam teks bacaan pertama, semoga tak seorang pun jatuh karena mengikuti ketidaktaatan orang yang mengalami euforia keselamatan privat. Amin.


HARI JUMAT PEKAN BIASA B/1
15 Januari 2021

Ibr 4,1-5.11
Mrk 2,1-12

Posting 2019: Debat Batin
Posting 2017: Markide atawa Markibo

Posting 2015: Hari Gini Tuhan Masih Menghukum?