Dulu bambu runcing identik dengan heroisme mengusir penjajah. Saya kira, mereka berusaha menghunjamkan bambu runcing itu ke tentara lawan. Zaman now, jutaan bambu yang tidak runcing dipakai untuk membuat jalan tol Semarang-Demak. Ada banyak juga yang dipakai untuk bikin pagar laut beberapa kota, dan tentara ikut mencabuti sebagian [dari mana anggaran bahan bakar dan uang makannya, jal?]. Anda tentu dapat menengarai keanehan negeri Kokononohaha; mosok segitu gedenya gak ada yang tahu siapa inisiatornya; mosok gada cawe-cawe nganu; dan seterusnya.
Teks bacaan utama hari ini tidak ada hubungannya dengan bambu, tetapi kasusnya punya persinggungan dengan penanganan kasus pagar laut belakangan ini. Di zaman teknologi maju begini, rupanya masih dibutuhkan banyak waktu untuk membongkar kepemilikan pagar laut karena mungkin yang mengklaim kepemilikannya bukanlah pemilik yang sesungguhnya dan penanggung jawab sesungguhnya malah mungkin berupaya cari kambing berwarna hitam. Ruwet.
Raja kebenaran dalam teks bacaan pertama bolehlah dilekatkan pada Yesus dari Nazareth yang senantiasa dipantau oleh pemegang status quo politik keagamaan (yang mestilah ada hubungannya dengan cuan). Pada sosok pencari kebenaran seperti ini, etika bukanlah pertama-tama pelaksanaan perintah dari luar, juga meskipun perintah itu disebut perintah Allah, karena Allah bukan sosok yang ada “di luar sana” melainkan pribadi yang terlibat “di dalam sini”. Pribadi seperti ini tidak akan menyodorkan dalih semacam “saya hanya menjalankan perintah”.
Bagi sosok seperti Yesus dari Nazareth, etika adalah konsekuensi persahabatannya dengan Allah dan buah persahabatan itu tak akan melecehkan hukum yang sungguh-sungguh memberi respek pada Allah dan manusia. Anda bisa cermati bahwa Yesus sama sekali tidak melanggar hukum Sabat yang jadi referensi orang-orang Farisi. Ia hanya menyodorkan kata-kata: meminta orang yang syaraf motoriknya lemah untuk berdiri di tengah, bertanya kepada mereka yang ada di situ, dan meminta orang di tengah tadi untuk mengulurkan tangan. Ia tidak menyentuh, memegang, atau menjamah.
Tetap saja, orang-orang Farisi bersekongkol dengan orang-orang pemerintahan untuk menghabisi nyawanya. Sampai di sini, Anda bisa bertanya kepada diri sendiri mengapa Yesus ini sedemikian dibenci oleh pemegang status quo sehingga mereka ngotot untuk membunuhnya. Anda tidak dilarang untuk menjawab “Karena memang Allah menghendaki Yesus mati untuk menebus dosa manusia” tetapi itu adalah contoh bahasa kosong yang saya singgung dalam posting Kemropok dan Jangan Takut Papa.
Anda bisa mengisi bahasa kosong itu dengan memahami Yesus seperti Anda memahami kasus bambu pagar laut: kebenaran itu mengesalkan, menjengkelkan, bikin ribet, malu, dan sejenisnya. Itu mengapa lebih banyak orang bermuka tembok dan berlama-lama mencari cover-up stories ketika dihadapkan pada kebenaran. Semoga teman-teman jurnalis diberi keteguhan, keberanian, kecerdikan, semangat jiwa besar dan rela berkorban untuk menuntun pendengar dan pembacanya melalui kata-kata verbal maupun visual ke dalam Kebenaran yang memerdekakan. Amin.
RABU BIASA II C/1
22 Januari 2025
Posting 2021: Kenalan
Posting 2019: Jengkel Aku!
Posting 2017: Perkenalkan Akrasia
Posting 2015: Kita Mesti Telanjang
