Senin Prapaska I
Im 19,1-2.11-18
Aneka larangan untuk mencederai orang lain dan perintah untuk mengasihi sesama merupakan sarana bagi umat Allah untuk menjadi solider terhadap Allah sendiri, yang adalah kudus. Umat diharapkan menjadi kudus sebagaimana Allah kudus adanya.
Mat 25,31-46
“Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya….Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan, ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.”
Sudah kaprah bahwa kesucian atau kekudusan dilekatkan pada aneka kegiatan di seputar altar. Ini adalah kekaprahan dalam benak umat beriman yang sangat sederhana dan barangkali belum bisa mempertanggungjawabkan imannya secara rasional. Di lain sisi, juga terjadi kekaprahan bahwa kesucian diidentikkan dengan aneka aktivitas heroik tertentu yang secara laten meminimalkan makna kegiatan di seputar altar tadi. Ini adalah kekaprahan dalam benak umat yang memahami Gereja sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat.
Kesucian dalam tradisi kristiani ialah bahwa yang kaprah dalam kelompok pertama tadi tersambung dengan yang kaprah dalam kelompok kedua sehingga keduanya tidak saling meniadakan. Orang boleh saja getol dengan aneka kegiatan sosial tetapi nilai heroismenya tak berarti apa-apa dalam kerangka iman. Orang boleh saja sedemikian aktif dengan aneka kegiatan di seputar altar tetapi makna rohaninya nol jika roh kegiatan itu tidak terpercikkan dalam kegiatan sosial, relasi dengan sesama.

Pokoknya, kesucian orang (Kristiani) letaknya justru pada sinkronisasi, pada sifat sakramental dari aneka kegiatan lahiriahnya, entah di seputar altar maupun di tengah pasar!

5 responses to “Altar dan Pasar: Connected!”
[…] Kristus tidak menghayati kesuciannya sebagai kesucian pribadi, tetapi Ia sungguh mau membangun kesucian bersama, yaitu ketika kehendak Allah terlaksana: merajai hati seluruh bangsa manusia. Fokus Kristus bukan […]
LikeLike
[…] ini pasti bukan cuma tujuh jumlahnya (meskipun Gereja Katolik mengakui tujuh sakramen). Orang yang berpikir sakramental menatap Allah dalam setiap peristiwa hidup yang dijalaninya. Tidak jelas? Punya waktu untuk […]
LikeLike
[…] Magdalena dan Maria yang lainnya, mengiringi warta kebangkitan itu dengan hidup mereka sendiri. Apa yang mereka percayai itu sungguh merasuk, terwujud, klop dengan tingkah laku mereka sendiri. Memang semula mereka merasa takut, kecewa, bingung, dan sebagainya. Akan tetapi, persekutuan […]
LikeLike
[…] Klik di sini untuk lihat posting tahun lalu […]
LikeLike
[…] Dalam polemik soal Tata Liturgi, ada ungkapan Jawa yang mungkin lebih moderat: ngono ya ngono ning aja ngono (begitu ya begitu tapi jangan begitu-begitu amatlah). Setiap umat beriman, entah awam, imam, atau uskup sekalipun, senantiasa perlu mencari tolok ukur pada relasi pribadi (tidak sama dengan privat!) dengan Allah sendiri untuk membangun identitas kristiani, entah dalam liturgi, pelayanan, pewartaan, kesaksian, maupun persekutuan supaya tak terpenjara dalam kepicikan urusan altar yang macet dan tak menggapai pasar seluas dunia. […]
LikeLike