Lydia, penjual kain ungu dari Tiatira yang berpindah ke Filipi, terbuka hatinya mendengar pewartaan Paulus dan kemudian dibaptis. Sebegitu gembiranya Lydia sampai ia berhasil mendesak Paulus cs untuk menumpang di rumahnya. Kegembiraan yang sama bisa menjadi tolok ukur iman seseorang ketika ia mengalami situasi yang sudah diprediksi oleh Kristus: kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah (Yoh 16:2).
Ujian iman yang sesungguhnya tidak terletak pada kedekatan seseorang dengan orang-orang kudus, pejabat-pejabat Gereja. Ada sebagian orang yang menghayati mental ndherek mulya (ikut numpang kemuliaan) orang-orang kudus: saya kenal romo A, saya dekat suster B, saya pernah membantu bruder C, anak saya jadi pastor yang ngetop loh, om saya itu provinsial tarekat internasional, pakdhe saya Kardinal, dan seterusnya. Lha njuk ngopo kalau begitu?
Ujian iman yang sesungguhnya justru terletak pada pergumulan hidup konkret setiap orang dan bagaimana ia menyikapi pergumulan itu: apakah ia masih bergembira dalam pergumulannya atau semangatnya meluntur.
Santo Filipus Neri, seorang kudus yang menjadi imam beberapa tahun setelah Serikat Yesus berdiri, menghadapi situasi Gereja yang tidak mudah. Ia aktif pada komunitas oratorium yang memungkinkannya berdoa sekaligus berjumpa dengan orang-orang dari kelas manapun. Santo Filipus Neri ini dikenal sebagai pribadi humoris, bukan karena ia tidak menangkap persoalan konkret masyarakat tempat hidupnya, melainkan justru karena ia memiliki kegembiraan sejati dalam hidup beriman.
Memang kegembiraan cenderung diidentikkan dengan tawa, tetapi kegembiraan karena iman pertama-tama terletak pada kemampuan orang menangkap makna dalam setiap pergumulan hidupnya. Jika orang menangkap hal itu, ia akan memahami bahwa Allah pun punya sense of humor, juga kalau Ia membiarkan Yesus megap-megap di salib! Santo Filipus Neri menghibur banyak orang dalam beratnya perjuangan hidup mereka dengan perkataan dan tindakan humorisnya, bukan semata-mata supaya orang bisa tertawa, melainkan supaya hati orang terpaut kembali kepada Allah.
Filipus seringkali menjenguk orang sakit dan sekarat. Biasanya tidak mudah menemani pasien yang rewel dan hopeless. Orang sakit macam ini banyak keinginannya setiap kali suasananya tak nyaman. Untuk menemani orang seperti ini Filipus memberikan tawaran: Maukah kamu menghadiahkan keinginan-keinginanmu itu kepadaku? [Pertanyaan macam apa itu? Mana bisa keinginan diberikan kepada orang lain?! Tak heran kemudian] Si penderita menjawab: Ya, Romo, tentu dengan senang hati saya berikan keinginan itu kepada Romo. Setelah itu, Filipus berpesan: Baiklah, nanti kalau datang lagi godaan setan supaya kamu minta ini itu dan harapanmu luntur, bilang saja: aku sudah gak punya keinginan. Keinginanku sudah kuberikan pada Romo Pippo.
Pasien itu memandang Filipus terplonga-plongo sebelum kemudian Filipus mengatakan dengan serius: Keinginan-keinginanmu itu nanti biar kuserahkan saja kepada Tuhan. Oke bro’?!
SENIN PASKA VI
Peringatan Wajib St. Filipus Neri
26 Mei 2014
Categories: Daily Reflection
2 replies ›