Tiga tahun saya tinggal di Italia dan ada satu kota besar yang hanya bisa saya sambangi untuk beberapa menit: Firenze, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Florence, sebuah nama yang menjadi trending topic belakangan ini. Sebagaimana tak kenal Firenze, saya pun tak kenal Florence dan tak tahu duduk persoalan yang sebenarnya!
Seorang sohib di negeri Paman Sam menyampaikan keprihatinannya jangan-jangan mekanisme main hakim sendiri merambah media sosial yang dipakai Florence. Nasib Florence mungkin tak setragis nasib Justine Sacco (yang karena tweet berbau rasisnya sebelum take off lalu kehilangan pekerjaan segera setelah pesawatnya mendarat, dalam hitungan belasan jam). Kasus Florence ini terjadi hanya beberapa saat setelah dunia disuguhi drama pembunuhan wartawan Amerika dan ancaman pembunuhan lainnya oleh kelompok ISIS (dan supaya akronim ini tidak sangar, muncul propaganda: Ikatan Satu Istri untuk Selamanya). Jika ditarik mundur, ada juga pembunuhan-pembunuhan karakter dengan senjata yang menumpahkan darah: para yesuit (termasuk Romo Albrecht Karim dan Romo Dewanto), Uskup Romero, dan banyak lagi martir dari golongan dan agama mana pun.
Jika mundur jauh ke belakang, kita dapati pembunuhan Yohanes Pembaptis, yang diperingati dalam ibadat Gereja Katolik hari ini. Ia menghayati Mazmur hari ini: mulutku mewartakan keadilan-Mu sepanjang hari (Mzm 71,15). Itulah kebodohannya, seperti kebodohan para martir sesudahnya: menguak kebenaran dan keadilan bahkan dengan risiko kematian! Ini benar-benar kebodohan yang jauh lebih bodoh daripada antri di pom bensin (karena antri tidak sampai terancam mati, jadi bisa dibilang bodoh saja, tidak pakai bingits). Di sini kita punya persoalan dengan kriteria kebenaran dan kebodohan: untuk kubu pro kriterianya A, untuk kubu kontra kriterianya -A.
Andaikanlah Yohanes ini punya akun Path dan mengunggah foto Herodes, Filipus saudaranya, dan Herodias (istri Filipus) dengan pernyataan: tidak halal engkau mengambil istri saudaramu. Apa kiranya reaksi pegiat medsos? Menghujat Yohanes Pembaptis? Mungkin saja, tetapi pasti bukan karena pernyataan yang dibuatnya (karena pernyataannya memang benar, semua orang tahu dan setuju), melainkan karena caranya menegur Herodes dengan bullying melalui medsos. Yohanes bisa jadi bulan-bulanan efek viral medsos sebagaimana Florence mengalaminya.
Medsos memang medium yang sangat cair dan sedemikian terbuka sehingga apa saja yang ada di kepala orang bisa muncul tanpa kontrol dari yang bersangkutan, baik mengenai apa yang dikatakannya maupun reaksi orang lain terhadap perkataannya. Pada medium itulah masing-masing orang bisa memilih peran: penguak kebenaran dan keadilan seperti Yohanes Pemandi, atau pengumbar hawa narsis nan arogan seperti titik titik. Titik-titik itu bisa diisi dengan nama Florence, tetapi bisa juga diisi dengan nama-nama lain yang bereaksi terhadap Florence. Semua pihak bisa berkaca di situ.
Sebagai renungan, andaikanlah kita melalui medsos dituduh orangnya bodoh, tak sabaran, emosional, kasar menjijikkan; kemudian segera kita membalas tuduhan itu juga melalui medsos untuk ‘membunuh’ si penuduh itu… bukankah itu justru membenarkan tuduhannya?
Mengapa tidak kita akui saja bahwa kita ini memang bodoh: hare gene mau-maunya antri, mau-maunya gak ikutan nyontek dan korupsi, mau-maunya repot-repot cari orang yang kehabisan bensin, mau-maunya membalas kekerasan dengan kelembutan, mau-maunya mementingkan publik dulu, dan seterusnya. Konon, hikmat Allah adalah kebodohan bagi manusia!
PERINGATAN WAJIB WAFATNYA YOHANES PEMBAPTIS
(Jumat Biasa XXI A/2)
29 Agustus 2014
Categories: Daily Reflection
4 replies ›