Saya punya teman profesinya jalan-jalan ke daerah pantai atau ke wilayah pegunungan. Entah apa nama profesinya, pokoknya dia rajin sekali mengupdate statusnya dengan foto-foto entah pantai atau tebing gunung. Yang menarik saya, di salah satu foto pantai hijau nan sepi itu ia menuliskan status fesbuknya dengan kalimat: Di sini hanya Engkau yang bisa menggangguku. Di tempat lain, rumah, kantor, gereja, jalanan, pasar, dan sebagainya, barangkali ada banyak hal yang bisa mengganggunya, tetapi di tempat itu, menurut klaimnya, hanya Do’i yang bisa mengganggunya. Tak perlu kita klarifikasi siapa si Do’i, tetapi rupanya pada situs itulah ia terbebas dari gangguan-gangguan lainnya, meskipun mungkin ia tidak juga dalam status berlibur.
Memang sih, pantai nan tenang, puncak gunung nan sunyi bisa menuntun perhatian orang pada kemegahan semesta, bisa jadi tempat khusus untuk membiarkan Sabda alias Do’i tadi menggapai batin orang. Mungkin dari sudut pandang lain bisa juga dikatakan di tempat seperti itu Sabda dalam hati orang lebih terasa gaungnya, dan setelah itu ada suatu perubahan dalam hati orang. Itulah yang dialami tiga murid Yesus saat mereka berlibur ke sebuah gunung (yang barangkali cuma bukit sih).
Hari ini Gereja Katolik memestakan liburan Yesus itu bersama para muridnya. Ngapain dia liburan? Ya tanyakan saja pada diri sendiri ngapain kita liburan segala. Apa yang dia lakukan? Ha itu, yang mungkin tidak kita lakukan: ia berdoa! Lagian, jauh-jauh ke gunung kok malah buat berdoa. Doa kan bisa di mana aja! Iya, tapi namanya juga Kitab Suci, lucu aja dong kalau menarasikan bagaimana Yesus dan tiga muridnya itu lempar-lemparan batu atau gendong-gendongan atau main petak umpet trus Yesusnya tau-tau mak cling nongol di balik punggung Yohanes. Yang dituliskan dalam Kitab Suci tentu poin yang lebih penting.
Tiga murid Yesus itu sepertinya murid yang mengikuti guru tanpa ngeh apa yang sebenarnya mereka ikuti. Itu tak hanya terjadi pada mereka. Bisa jadi orang tak mengerti peta besar, orientasi besar, karya besar, yang sedang dijalaninya; bukan karena ia gak mau tau atau malas berpikir, melainkan karena peta besar itu menyangkut misteri yang tak tertundukkan oleh rasio manapun. Petrus bahkan tak tahu apa yang diucapkannya saat terperangah melihat kilauan cahaya yang melingkupi Yesus dan dua sosok nabi besar. Anyway, rupanya itu bukan problem besar karena dengan cara itu pula Petrus dan teman-temannya dididik untuk menyingkap misteri kemuliaan yang berada di balik penderitaan yang kelak dialami Yesus dan murid-muridnya.
Liburan macam begitulah yang kiranya inspiratif. Lelah, pegal, capek, dan sebagainya takkan jadi masalah jika pasca liburan orang menangkap perspektif baru yang bisa dipakai untuk memaknai hidup dan menimba kekuatan untuk kembali pada rutinitasnya. Lha nek liburan capek, badan sakit, njuk maunya libur terus, gak mau atau malas kerja, itu indikasi bahwa liburannya tidak rekreatif dan inspiratif.
Tuhan, mohon rahmat supaya kemuliaan-Mu ternyatakan dalam jerih payah kami juga. Amin.
PESTA YESUS MENAMPAKKAN KEMULIAANNYA
(Sabtu Biasa XVIII C/2)
6 Agustus 2016
Posting Tahun B/1 2015: Panggilan Skripsi
Posting Tahun A/2 2014: Narsis Gak Eaaa…
Categories: Daily Reflection