Merintis Neraka

Tetangga kamar saya suka sekali menirukan pertanyaan mendiang misionaris Belanda (atau Jerman ya saya lupa, tanya saja pada tetangga saya itu atau langsung pada mendiang misionarisnya). Misionaris ini sangat fasih berbahasa Jawa, tetapi namanya manusia, sefasih-fasihnya beliau kok ya ada saatnya macet juga. Ia bertanya dalam bahasa Jawa: Para sadulur, basa jawane ‘lupa’ kuwi apa ya, aku kok lali! Terjemahan bahasa Indonesianya: Saudara-saudara, bahasa Indonesianya ‘forget’ itu apa ya, saya kok lupa!

Bukan kasus langka bahwa dalam menantikan suatu peristiwa (penting) dalam hidup, peristiwa itu sendiri ‘sudah’ terjadi tanpa kita sadari. Tepatnya sih ‘belum-tapi-sudah’ terjadi. Tentu saja, karena suatu peristiwa tidak pernah berdiri sendiri dalam kotak ruang dan waktu tertentu. Silakan lihat misalnya bagaimana Pilkada 2017 itu praktis ‘sudah’ terjadi pada tahun 2016 ini. Anda yang fasih dengan cara berpikir sistemik tentu menangkap maksud pernyataan itu. Yang tidak fasih ya tinggal terima saja bahwa hidup ini adalah jalinan proses macam-macam peristiwa.

Pesan itu bisa kita petik juga dari teks hari ini tentang para ahli Taurat pada masa Yesus yang menantikan kedatangan Elia yang, katanya, akan menyiapkan datangnya Mesias bagi mereka. Apa mau dikata, para ahli ini tidak pernah ngeh bahwa Kerajaan Allah yang dibawa Mesias itu datangnya seperti maling, tak disangka-sangka datangnya. Kenapa gak pernah ngeh? Karena Elia yang mereka pahami adalah Elia yang sudah basi. Bisa gak sih kita bayangkan Pangeran Diponegoro itu hidup lagi dan hendak mengusir penjajah Belanda sekarang ini? Eaaa… penjajah kita bukan (cuma) Belanda yo…

Suara Yohanes Pembaptis tetaplah keras sebagaimana Elia getol menyerukan pertobatan bangsanya supaya kembali kepada Allah, bukan kepada dewa-dewa palsu itu. Mereka berdua ini memperjuangkan, membela relasi manusia dengan Allah pencipta, bukan memperjuangkan atau membela agama per se. [Per se itu artinya apa ya? Pada dirinya. Maksudnya? Dalam hal ini, Yohanes membela agama sejauh berorientasi pada relasi vertikal manusia dan Allah, bukan agama dalam dimensi horisontalnya yang rawan politisasi entah internal atau eksternal.] Itu mengapa ahli Taurat pun memandang Yohanes sebelah mata. Bisa jadi mereka bergembira juga sewaktu tahu bahwa Yohanes dipenjara [meskipun untuk itu tak perlu memobilisasi 7,5 juta umat]. Gak ada lagi yang rese’ mengkritisi cara hidup mereka.

Padahal, justru kalau orang mendapat kritik, semestinya ia bersyukur. Pertama, ia diperhatikan. Kedua, ia punya kesempatan untuk mengasah akal sehatnya sendiri. Kalau ia takut kritik, ia merintis nerakanya sendiri. Insight ini saya peroleh juga dari cerpen A.A. Navis Robohnya Surau Kami itu (lagi-lagi cerpen ini!): ketakutan Kakek masuk neraka sudah jadi neraka itu sendiri dan semakin definitif ketika ia memutuskan untuk bunuh diri.

Sekali lagi, Kerajaan Allah atau surga atau bagaimanapun mau diistilahkan, ada dalam diri orang dan realisasi konkretnya bergantung pada bagaimana ia menanggapinya dalam dunia di sini ini. Allah bicara melalui hati orang yang tanggap terhadap Kitab Suci, ritual, doktrin, agama, ateisme, politik, dan sebagainya. Sayangnya, tanggapan orang sering bypassing hati, cuma modal perasaan yang berkongkalikong dengan pikiran cupet. Itu memang shortcut untuk merealisasikan neraka.

Ya Tuhan, bantulah kami untuk menyadari kehadiran-Mu.


HARI SABTU ADVEN II
10 Desember 2016

Sir 48,1-4.9-11
Mat 17,10-13

Posting Tahun Lalu: Antara Wife dan WiFi
Posting Tahun 2014: Masih Mau Menyombongkan Diri?