Saya tak heran kalau dari sekian ‘juta’ orang yang demo gubernur non aktif Jakarta itu cuma sekian ratus atau puluh orang yang benar-benar melihat materi rekaman video dan mengerti betul persoalannya. Itu bisa dimengerti juga dari cerita seorang pertapa ketika ia membimbing kami retret (nyepi beberapa hari untuk olah diri, refleksi diri). Sudah pernah dituliskan juga pada buku Saat Tuhan Tiada (eaaaa ada yang promosi buku). Cerita fabel yang tentu cocok untuk mengerti polah atau ulah perilaku manusia. Ceritanya sederhana. Di suatu kampung, seekor anjing mengejar kelinci dan sembari mengejar kelinci itu ia menggonggong keras. Gonggongannya ini rupanya mengundang anjing lain di kampung itu dan anjing-anjing lain mengikutinya: dua, tiga, empat anjing berlari di belakang anjing perintis tadi.
Si kelinci itu tidak cuma kenal satu kampung. Ia terus berlari ke kampung sebelah dan karena di kampung itu juga ada anjing, gonggongan anjing kampung sebelah itu mengundang mereka juga untuk menggonggong dan berlari di belakang anjing-anjing itu: lima, enam, tujuh [juta #eh] anjing berlari di belakang anjing perintis tadi. Di kampung lain lagi menyusullah anjing-anjing lainnya. Kalau anjing yang di belakang ditanya kenapa mereka menggonggong dan berlari di belakang anjing lain, tentu jawabnya,”Wanda’ tau ya.” Dari tujuh [juta #ehlagi] atau belasan anjing itu yang melihat kelinci cuma satu atau dua. Yang lainnya kebagian lari dan menggonggong [sampai gedung pengadilan #eeeeeeh!!!] Tapi itu masih mendingan ya daripada sebetulnya gada yang lihat kelinci dan toh lari-lari sambil menggonggong. Ya, namanya juga anjing.
Teks hari ini sudah dibacakan dari Kitab lain pada hari Minggu lalu, tapi saya ingin fokus pada jawaban tokoh sableng kita. Jebulnya, untuk menangkap Kebenaran, orang tetap perlu menghargai juga pengamatan indrawi, tetapi pengamatan indrawi ini dibekali oleh kategori ‘ilahi’. Si sableng tidak menjawab pertanyaan murid Yohanes, tetapi meminta mereka menjawab pertanyaan guru mereka dengan dasar apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar. Bukankah penglihatan dan pendengaran indrawi itu rapuh? Bagaimana mungkin si tokoh sableng ini cuma meminta mereka memperhatikan apa yang mereka lihat dan dengar? Bukankah itu nanti bisa berujung pada ‘katanya’ dan ‘kata orang’ dan sejenisnya sehingga orang cuma bisa menggonggong saking songongnya?
Rupanya bukan itu yang jadi concern tokoh sableng kita ini. Dia minta kita, anjing-anjing ini, melihat kelinci dan kelinci itu tak lain adalah Kebenaran yang bisa diverifikasi juga dengan pengalaman indrawi: penglihatan dan pendengaran. Celakanya, banyak orang yang tidak melakukan verifikasi ini. Standarnya cuma ‘katanya’ dan bukan pengalaman, entah pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Kebenaran adalah Kebenaran ketika ia sungguh membebaskan, menyembuhkan, melegakan, memerdekakan. Sebaliknya, kebenaran itu luntur dengan sendirinya jika orang yang mewartakannya bertingkah seperti anjing yang tidak melihat kelinci tadi: menggonggong dan berlari entah apa juntrungnya pokoknya mengikuti order yang disepakatinya. Untuk anjing seperti ini, kebenaran menjadi ideologis dan sikapnya jadi anarkis. Yang dia tentang malah adalah Kebenaran itu sendiri.
Tuhan, lindungilah bangsa kami dari serbuan binatang yang tak mampu menangkap cinta-Mu melalui pengalaman konkret hidup ini. Amin.
HARI RABU ADVEN III
Pesta Wajib S. Yohanes dari Salib
14 Desember 2016
Yes 45,6b-8.18.21b-25
Luk 7,19-23
Posting Tahun Lalu: Kau Tercipta untuk’Ku
Categories: Daily Reflection