Sudah pernah diulas di sini bahwa yang namanya taat itu gak gampang. Ada setidaknya dua relasi yang perlu dipertimbangkan: relasi dengan hukum praktis dan relasi dengan Roh dari hukum praktis itu. Akrab dengan aneka aturan praktis tanpa mengerti Rohnya, yang mengenal tatanan nilai, membuat orang jadi legalistik, formalistik, manusia robot. Akrab dengan Roh tanpa mengerti terjemahannya dalam aturan konkret membuat orang sakpenak wudêlé dhéwé alias hidup semaunya sendiri [dan dengan demikian justru meragukan keakraban dengan Rohnya sendiri: ini roh baik yang tahu tatanan nilai atau roh ja’at) dan bisa jadi monster juga.
Yesus melihat kemungkinan bahwa ia diduga hendak mengubah hukum praktis yang selama itu sudah jadi adat turun temurun sejak zaman Musa. Dugaan itu tentu beralasan karena memang terjadi pelanggaran terhadap kebiasaan Yahudi. Problemnya tidak terletak pada pelanggarannya, melainkan, seperti sudah diulas kemarin, pada fokus perhatian akan persoalannya.
Kepada para mahasiswa saya pertanyakan apakah ada kebenaran dengan sedikit bermain-main dengan pernyataan contradictio in terminis “tidak ada kebenaran (universal)”. Latar belakang pemikirannya, dengan contoh agama, meyakinkan. Kristen ngotot bahwa Yesus wafat dan bangkit. Yahudi tak mengakui kebangkitan Yesus. Jenasahnya dicuri. Sedangkan Islam bahkan tidak mengakui kematian Yesus. Nah, ini kan sudah ada tiga klaim kebenaran dan masing-masing berpegang teguh pada klaim kebenaran itu. Berarti, dari sudut objektif, tak ada kebenaran dong karena akhirnya bergantung pada masing-masing agama. Pembuktian mana yang benar ya ntar kalo dah kiamat!
Sayangnya, pernyataan “tak ada kebenaran” justru menegaskan bahwa kebenaran (universal) itu ada. Kok isa? Ya isa, karena kalau memang tak ada kebenaran (universal), berarti pernyataan “tak ada kebenaran” itu salah. Jadinya yang betul malah “ada kebenaran (universal)”. Lha trus, kalau ada kebenaran universal, kenapa klaim agama berbeda-beda? Yang satu bilang begini, yang lain-lainnya menentang. Njuk mana yang benar dong?
Sama seperti problem pelanggaran tradisi tadi. Pemecahannya mesti ada pada tingkat berpikir yang lebih ‘tinggi’. Maksudnya “tinggi” apa? Maksudnya, lebih mengarah pada prinsip dasar, yang tadi disebut relasi dengan Roh itu. Konkretnya, tiga agama itu sama-sama mengklaim Allah yang Maha Esa. Apakah Allah yang Maha Esa itu cuma bisa mengomunikasikan Diri lewat nabi? Atau apakah nabi-Nya itu cuma satu? Kitab-Nya? Tidak. Itu berarti, Allah mampu mewahyukan Diri lewat aneka cara, dan dengan demikian aneka agama. Apakah klaim agama itu bertentangan atau tidak, none of His business! Manusialah yang mesti mengurusnya. Yang penting, agama-agama itu (mestinya) mengantar pemeluknya untuk berelasi, berjumpa, menemukan Roh agama itu sendiri.
Bagaimana orang tahu bahwa pemeluk agama menemukan Roh agamanya? Ya lihat saja motif dan outputnya, tindakan moralnya. Bertentangan dengan kemanusiaan gak? Kalau iya, (pemeluk) agama mesti mawas diri, koreksi diri. Misalnya, apa benar agama mengajarkan koruptor kelas kakap pasti masuk surga asal memeluk agama nganu. Kalau betul, mari kita beramai-ramai nganu saja karena pasti masuk surga juga setelah dunia ini ancur ya ancur karena perbuatan manusia sendiri!
Tuhan, asahlah rasa kemanusiaan kami dengan Roh-Mu supaya hukum-Mu tak jadi monster bagi sesama. Amin.
HARI RABU PRAPASKA III
22 Maret 2017
Posting Tahun 2016: Menerima Kado
Posting Tahun 2015: Love and Do Whatever You Want
Posting Tahun 2014: Do We Need School of Heart?
Categories: Daily Reflection
Halo mo, lama ga komen 😁
Iya Mo, saya juaga turut prihatin ketika mwlihat orang-orang yang ribet sekali mempersoalkan agama, toh agama kan buatan manusia.
Semoga kita selalu diberi kedamaian 😊
LikeLike
Haha iya ci’… didoakan ya.
LikeLike