Dalam sejarah rupanya tidak ada agama yang benar-benar membawa perdamaian dunia. Yang ada hanyalah klaim bahwa agama membawa perdamaian dan klaim itu terbantah oleh sejarah kekerasan agama. Jadi, apapun agama Anda, mohon rendah hati untuk mengakui bahwa agama Anda bukanlah penentu perdamaian dunia. Tentu saja kerendahhatihati tidak berarti bahwa agama tidak relevan. Relevansinya ada, cuma orang-orangnya saja yang tak mengerti atau meskipun mengerti, tidak konsekuen untuk menghidupinya. Kalau mau mencoba mengerti ya silakan baca kembali soal relasi agama dan moralitas, dan kalau mau konsekuen menghidupinya ya selamat menikmati tegangan antara agama dan moralitas itu dalam upaya menjawab pertanyaan “Siapakah Allah bagiku?”
Berapa lama orang memeluk agama bukan juga jaminan akan pengenalan atau persahabatannya dengan Allah. Ini digambarkan dalam adegan yang disodorkan bacaan hari ini mengenai persekongkolan Yudas Iskariot untuk menyerahkan gurunya. Ini bukan soal pengkhianatan Yudasnya, melainkan soal keadaan batin para murid terhadap kemungkinan terjadinya pengkhianatan. Satu per satu menunjukkan keraguan mereka, bahkan Yudas Iskariot yang memang berniat menyerahkan Yesus. Tiga tahun bersama Yesus tidak memberikan jaminan bagi para murid untuk memiliki sikap keberpihakan yang tegas dan jelas. Tidak mudah rupanya mengatakan ya jika halnya memang iya dan tidak jika halnya memang tidak.
Sekarang ini (semoga seterusnya juga), kalau boleh bermain-main dengan nama orang yang kerap disebut-sebut media, representasi murid yang punya keberpihakan jelas itu adalah Novel Baswedan, yang kalau saya tak salah berkesimpulan, bertekad tetap meneruskan misi KPK bahkan setelah diserang dengan air keras. Keberpihakan semacam ini sulit diwujudkan oleh penyandang nama Novel & Baswedan lainnya karena mereka masuk dalam ranah politik kepentingan yang tak jelas juntrungnya dan malah bisa jadi memutarbalikkan fakta dengan standar ganda yang mereka terapkan. Bikin gemes-gemes gimanaaaa gitu, tetapi memang begitulah politik kekuasaan. Maling ya berteriak maling.
Yesus tidak memosisikan dirinya dalam kerangka politik kekuasaan terhadap murid-muridnya. Ia bahkan tak melarang Yudas Iskariot menjalankan niat busuknya. Ia mengerti Petrus takkan sanggup konsisten dan konsekuen dengan niat luhurnya. Di hadapan compassionate Yesus ini, orang sebetulnya diajak untuk jujur: mbok wis lah alias mbok sudahlah, pahami dulu apa yang kamu katakan, kamu lakukan, kamu pilih, kamu pertahankan. Ujilah hal-hal itu dengan jujur dan tak perlu main klaim politik atas dasar yang kamu sendiri masih tidak yakin: program gak jelas, pengalaman belum teruji.
Lha ini kok nyindir-nyindir cagub-cawagub toh, Mo? Ya enggaklah, cagub-cawagub itu adalah kita: adakah dalam hatiku sikap keberpihakan yang jelas atau aku cenderung oportunis dalam hidup beriman. Ini bukan rekomendasi bagi radikalisme agama, tetapi juga bukan penyokong oportunisme dalam hidup beriman. Gimana sih oportunis dalam hidup beriman, Mo? Ya itu loh, ketika orang menempatkan agama di atas relasi autentik dengan Allah dan sesama. Miris rasanya jika rakyat Jakarta sebagian besar termakan oleh kampanye, apalagi ancaman, dengan membawa-bawa agama. Semoga sih tidak. Pokoknya, kalau sudah bawa-bawa label agama pada ranah politik praktis, kembali ke paragraf satu tadi: itu adalah klaim semu yang ujung-ujungnya malah merecoki perdamaian dunia.
Tuhan, mampukan kami untuk berpihak pada-Mu. Amin.
HARI RABU DALAM PEKAN SUCI
12 April 2017
Posting 2016: Mari Berkhianat
Posting 2015: Faith: Always Inclusive
Posting 2014: Wani Piro: Betraying The Wisdom
Categories: Daily Reflection