Selfie with God?

Kemarin sudah disampaikan catatan untuk meragukan label bombastis yang kerap kali memberikan kebanggaan semu: juara dunia hanyalah label untuk pemenang lomba yang mengalahkan peserta lomba lainnya, bukan mengalahkan orang sedunia, bukan alasan orang untuk mengklaim diri sebagai yang terbaik di dunia. Itu saja dalam hal fisik-material, apalagi dalam hal keutamaan atau nilai: kesadaran akan kebaikan diri meruntuhkan nilai kebaikan itu sendiri. Ini bisa dipahami dari bagaimana orang rendah hati tak pernah mempublikasikan kerendahan hatinya dan bagaimana orang suci menghentikan kesuciannya ketika ia merasa dirinya suci.

Di hadapan Allah, semua orang berkedudukan sama, apapun labelnya. Itu juga mengapa tak masuk akallah membanding-bandingkan agama untuk membuat ranking mana yang lebih baik atau mana yang lebih sempurna. Kesempurnaan tidak terletak pada agama, tetapi pada kuasa Allah untuk menarik setiap orang beragama kembali kepada-Nya dan tak seorang pun dapat melawan kuasa macam ini. Ia pasti menarik setiap orang, entah dalam keadaan bersih atau kotor, entah dalam keadaan mulus atau berdarah-darah, entah dalam usia tua atau muda. Tarikan ini rupanya tak terasakan oleh orang bijak dan pandai, yang merasa diri bijak dan pandai, yang merasa diri suci, yang tidak sadar diri bahwa butuh pertobatan, butuh membuka diri terhadap Yang Lain.

Lagi, bacaan kedua hari ini bicara soal misteri yang dibuka bagi orang kecil dan ditutup bagi orang bijak-pandai tadi. Contohnya ada pada bacaan pertama. Orang kecil itu bernama Musa dan tak usah menyangkalnya dengan cerita bahwa dia adalah nabi besar. Balik lagi, besar-kecil, terbaik, juara, menang, dan sebagainya itu label belaka. Label baru penting sejauh sinkron dengan substansinya. Label kecil yang saya sematkan pada Musa ini adalah keadaan dirinya yang sedang dalam pelarian benar. Batinnya bergejolak karena rahasianya terbongkar sebagai pembunuh seorang Mesir. Barangkali ia dipenuhi rasa takut, meskipun menyimpan kemarahan karena bangsanya diperlakukan tak adil oleh bangsa Mesir. Pada keadaan seperti itu, justru Allah menyatakan diri-Nya melalui semak belukar yang tampak terbakar. Kisah ini bahkan jadi kajian filsafat-teologi yang luar biasa, tetapi biarlah label itu dilekatkan pada wacana situs lain ya.

Perjumpaan dengan Allah tidak mensyaratkan orang untuk bersih dulu, kecuali bersih dimengerti sebagai keterbukaan kepada Yang Lain. Perjumpaan dengan Allah juga tidak mensyaratkan label agama. Itu mengapa tak ada alasan untuk mengatakan bahwa hanya orang beragama tertentu yang bisa mengalami perjumpaan dengan Allah. Sekali lagi, di hadapan Allah, semua label manusiawi itu tak ada maknanya. Hanya perjumpaan dengan Allahlah yang memungkinkan orang bersinggungan dengan misteri jauh tapi dekat, miskin tapi kaya, dangkal tapi mendalam, bodoh tapi bijak, dan seterusnya. Pesona Allah yang hadir dalam paradoks ini hanya tertangkap oleh mereka yang memiliki keterbukaan diri, yang mau keluar dari kepentingan diri, yang selalu ogah dengan puas diri, dan yakin deh, takkan (bisa) menjadikannya sebagai objek selfie. Begitu jadi objek selfie, orang berhadapan dengan label, dan objeknya sendiri meloloskan diri dari label.

Tuhan, bantulah kami untuk senantiasa peka terhadap kehadiran-Mu di sekeliling kami. Amin.


RABU BIASA XV A/1
19 Juli 2017

Kel 3,1-6.9-12
Mat 11,25-27

Rabu Biasa XV C/2 2016: Pokémon Go: Playing Truth
Rabu Biasa XV B/1 2015: Sejarah Allah Bukan Sejarah Agama

Rabu Biasa XV A/2 2014: Kaum Bijak-Pandai Celaka