Sewaktu gempa besar, meskipun bukan yang terbesar, tahun 2006 di Yogyakarta, saya mengira ada truk yang lewat di sekitar tempat tinggal saya. Ceritanya sedang bersila meditasi dan karena getaran yang bergradasi itu saya mengagumi truk yang suaranya begitu senyap dan hanya getarannya saja yang berdampak. Begitu saya melek dan melihat barang-barang mulai bergerak-gerak sendiri saya sadar bahwa ini gempa, dan dengan bermodal kaos dalam saya tak berpikir untuk menyambar baju, apalagi jubah, berlari ke arah pintu dan tiga kali luput meraih gagang pintu. Iki dagelan tenan ki gusti Allah.
Semalam saya terbangun bukan dari meditasi, melainkan dari tidur nyenyak setelah ngantuk mengerjakan soal ujian. Gempa membangunkan saya, dan di atas ranjang saya menantikan kalau-kalau ‘truk’ itu datang lagi setelah 11 tahun tak berkunjung. Agak lama main ayunan di lantai dua dan karena ‘truk’ tak kunjung tiba saya merem lagi saja setelah sekitar setengah menit mengamati langit-langit dan berusaha mendengarkan kalau-kalau ada suara gubrak krompyang gruduk dan sejenisnya.
Memang orang cenderung mendengarkan apa yang ia mau dengar dan mengabaikan hal-hal jelek yang ia tak mau dengarkan. Celakanya, karena itu orang malah sibuk dengan ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, traumanya sendiri. Dulu selepas gempa 2006 itu saya sangat sensitif terhadap getaran kecil, bahkan kalau itu jelas getaran yang ditimbulkan oleh kendaraan berat yang melintas di jalan depan rumah, saya tetap awas kalau-kalau gempa hebat akan terjadi. Semalam, pun dalam kesadaran bahwa ini adalah gempa yang tidak main-main, saya tak memberi ruang pada kekhawatiran traumatis gempa 2006 dan fokus pada ayunan di tempat tidur. Contact with reality is such an important thing.
Bacaan pertama hari ini berkonteks besar seruan Yesus yang bukan dari Nazaret supaya orang Israel tak hanyut oleh proses ‘serbuan’ budaya asing yang berkuasa. Clash of civilizations ini mesti mendorong orang untuk melihat ke dalam, bukan pengalaman traumatis atau negatif, melainkan pengalaman bahwa ada orang-orang besar yang menegaskan bagaimana kerja Allah itu senantiasa hadir menguatkan umat-Nya. Hidup-mati mah biasa, tetapi kalau orang hidup dalam kekhawatiran akan kematian, sayang sekali hidupnya.
Bacaan kedua menegaskan paragraf-paragraf di atas: Elia yang digambarkan dalam bacaan pertama itu tidak dikenali orang-orang yang memperlakukannya sebagaimana mereka inginkan. Orang-orang seperti inilah yang juga akan mendera Kebenaran yang pada dasarnya mengusik kekerdilan hati dan budi mereka. Hati dan budi manusia, kalau tidak berjalan dalam pertobatan sejati dan serius kepada Kebenaran, Kerendahan Hati, sangat berisiko besar mempertuhankan dirinya sendiri dan tak mampu mengenali Sang Kebenaran, Sang Keindahan, Sang Kebaikan itu, juga dalam peristiwa alamiah.
Ya Allah, mohon rahmat supaya kami senantiasa mampu bertafakur akan kebesaran-Mu dan membiarkan kekerdilan hidup kami diperluas oleh kemuliaan-Mu itu. Amin.
HARI SABTU ADVEN II
16 Desember 2017
Posting 2016: Merintis Neraka
Posting 2015: Antara Wife dan WiFi
Posting 2014: Masih Mau Menyombongkan Diri?
Categories: Daily Reflection