Maju atau Mundur Cantik?

Pertanyaan sang guru dari Nazareth dalam teks hari ini berlaku untuk semua orang beriman,”Apa kamu tidak mau pergi juga?” Pertanyaan ini disodorkan di penghujung diskusi mengenai roti hidup, pencarian kehendak Allah yang tak kunjung usai; ternyata beriman itu susah dan ribet dan kerap terasa gak klop dengan perhitungan-perhitungan nalar biasa. Wacana tentang roti hidup ini malah menggoncang iman orang yang mau cari hidup gampang, serba pasti, terjamin dan aman. 

Pertanyaan itu dilontarkan si guru kepada muridnya karena memang banyak orang yang setelah menjumpai kesulitan dan kompleksitas hidup beriman itu njuk mundur teratur, meninggalkan panggilan hidup dan kembali mengurung diri dalam dunia hangat-hangat tahi ayamnya.
Tentu saja, orang bebas sebebas-bebasnya, boleh meletakkan hidupnya dalam panggilan atau menolaknya, boleh menghidupi azas dan dasar atau menyangkalnya. Kalau terpaksa menjalani panggilan pun, tiada makna. Begini quote tetangga saya di hari Kartini: bekerja keras adalah bagian dari fisik, bekerja cerdas merupakan bagian dari otak, sedangkan bekerja ikhlas adalah bagian dari hati.

Memang untuk menjalani panggilan hidup di hadapan Allah, tiga hal itu dibutuhkan: okol-akal-ati. Kalau tak begitu jadinya kagol njuk mutung lalu bubaran deh

Berhubung ini hari Kartini, saya ceritakan tokoh perempuan yang dalam kancah ilmu suci membongkar keyakinan palsu orang beriman. Si Kartini zaman now ini melihat bahwa Kitab Suci itu, mbok mau disebut kitab yang diinspirasi Roh Kudus sekalipun, begitu tertulis ya pasti dipengaruhi oleh kultur manusia yang menuliskannya: bahasa, adat, kebiasaan, kultur. Lha, kalau kultur penulis Kitab Sucinya itu bercorak patriarkal, asumsi dominasi laki-laki terhadap perempuan ya bakal masuk ke dalam tulisan Kitab Suci itu. Misalnya narasi tentang perempuan yang mesti mengurus pekerjaan dapur, tak boleh bicara dengan tamu, istri di bawah suami (kecuali kalau dia pas di lantai atas dan suaminya sedang di bawah), suami kepala (istri perut?), dan sebagainya.

Nah, menurut Kartini zaman now, itu ‘cacat produksi’. Hambok mau diteliti dengan tinjauan sejarah njelimet pun hanya akan muter-muter di situ. Bayangkanlah sistem komputer Anda terkena virus ganas dan Anda tak punya akses dari luar sistem yang terinfeksi itu. Bahkan mungkin untuk menginstall antivirusnya saja tak bisa. Mungkin mesti diformat ulang.

Beberapa Kartini melihat persoalan itu lalu mundur teratur dengan keyakinan bahwa Kitab Suci itu fiksi belaka yang bias gender, menguntungkan laki-laki menindas perempuan. Allah saja diberi kelamin laki-laki!
Kartini zaman now yang saya maksud di sini tidak mundur teratur. Ia masih bisa melihat kebenaran di balik Kitab yang disebut fiksi itu dengan cara penafsiran yang transformatif. Lha penafsiran yang transformatif itu bagaimana, takkan saya jabarkan di sini. Emangnya ini kuliah Identity and Gender po?

Pokoknya, Kitab Suci disebut benar bukan karena tidak ada kesalahan asumsi saintifik, linguistik, dan lain sebagainya, melainkan karena membebaskan orang untuk hidup dalam Roh yang menuntunnya kembali kepada Allah. Ini salah satu jasa Kartini: memerdekakan orang supaya tidak ‘bisanya cuma menggerutu’, tetapi dengan tekun menyelisik batin untuk menemukan panggilan pribadi dari Allah sendiri.

Tuhan, mohon rahmat supaya kami semakin hidup dalam emansipasi. Amin.


SABTU PASKA III
21 April 2018

Kis 9,31-42
Yoh 6,60-69

Posting 2017: Oh Terobos Busway Toh?
Posting 2016: Mau Bisnis Penyembuhan?
 
Posting 2014: To Whom Shall We Go?