Ekaristi Sumber Hidup? Tênané…

Teks bacaan hari ini bisa jadi salah satu teks yang dipakai orang Katolik untuk mempertahankan argumentasi mengenai perubahan roti dan anggur jadi Tubuh dan Darah Kristus dalam perayaan Ekaristi. Saya tak mau buru-buru ke arah sana, cuma mau mengundang pembaca, terutama yang Katolik, untuk berpikir biasa saja secara sederhana. Bukan apa-apa, saya terus terang aja kok, sebah kalau mendengar uraian-uraian indah teologis. Ya betul sih yang diomongkan, sekurang-kurangnya dalam keyakinan iman tertentu, tetapi kalau diomongkan di ranah obrolan biasa itu kok jadinya too good to be true.

Saya bukannya tidak setuju bahwa perayaan Ekaristi adalah sumber dan puncak hidup Kristiani. Saya setuju sekaleeee’ pake’ banget. Problemnya bukan di situ. Problemnya seperti sudah saya uraikan di halaman Orangnya Semprul: Ekaristi direduksi orang jadi roti bundar putih yang diangkat imam atau pastor saat konsekrasi itu. Lebih parah lagi, Ekaristi direduksi orang semprul ini jadi ritual, dan lebih menjijikkan lagi asal sudah datang duduk diam tanpa mainan hape dari jam sekian sampai jam sekian di gereja ini atau itu, ikut antre ‘terima kumini‘, berarti sudah merayakan Ekaristi.

Ha kok kêpénak mên merayakan sumber dan puncak kehidupan!
Ini berat. Dilan pun belum tentu kuat, tetapi yang mengklaim kuat juga gak sedikit, meskipun ujung-ujungnya ya cuma ritual tadi;enggak imamnya, enggak umatnya, padha bae’. Ya tentu gak semua imam dan umat begitu, tetapi menurut intuisi saya benih-benih ritualistik itu bisa menghinggapi siapa saja.

Padahal, teks Yohanes ini mengandaikan orang memiliki kepercayaan kepada Sabda Allah dan merealisasikan dalam hidup konkretnya. Pada momen itulah orang merayakan sumber dan puncak kehidupan. Ha kalo gitu gak usah misa ya no problem kan Mo?
Tentu no problem bagi orang beridentitas non-Katolik, yang memiliki cara lain dalam menggali Sabda Allah dan membangun persekutuan umat beriman. Sejauh ini, Gereja Katolik punya tradisi begitu dan tradisi itu toh gak jelek atau tidak bikin dosa juga ya. Kalau misa jadi gak inspiratif, ya jangan cuma salahkan romo, kor, lektor, misdinar. Lha wong Sabda Allah itu mestinya mengubah dari dalam je, kok malah ribet dengan yang ritual, alih-alih menggumuli yang substansial.

Ya Allah, bantulah kami untuk senantiasa menangkap kehendak-Mu dalam suka duka hidup kami. Amin.


JUMAT PASKA III
20 April 2018

Kis 9,1-20
Yoh 6,52-59

Posting 2017: Insider or Outsider
Posting 2016: Table Manner-nya Agama?

Posting 2015: Ayo Cari Jalan Pulang

Posting 2014: Pertobatan Ananias dan Saulus