Comeback Liverpool kemarin diulang secara lebih dramatis oleh Tottenham Spurs dini hari tadi, yang hanya punya waktu satu babak untuk mencetak minimal tiga gol. Saya sebenarnya memilih Ajax yang lolos karena pemainnya daun muda semua. Lagipula, sudah unggul agregat tiga tol pada babak pertama, kan sebetulnya tinggal numpuk semua pemain di belakang untuk bertahan dan asal buang bola saja sudah cukup. Tapi ya mau bagaimana, begitulah permainan, yang tidak saya tonton karena tak ada pemain Jermannya 😂 [maafkan darah Jerman saya]: selama bola itu bulat, aneka kalkulasi bisa meleset. Tapi sebetulnya jika bola itu segitiga, aneka kalkulasi bisa meleset juga sih. Jadi, intinya aneka kalkulasi atau perhitungan bisa meleset juga.
Kalkulasi dan perhitungan senantiasa didasarkan pada observasi indrawi, yang kadang terpadatkan dalam intuisi. Itu mengapa intuisi juga bisa meleset, bahkan meskipun diberi atribut rohani! Akibatnya, intuisi rohani pun perlu dilatih, diasah, dipertajam, dan sejenisnya.
Saya teringat, sebagai imam Katolik pernah ditanyai oleh seorang jemaat non-Katolik mengenai keyakinan saya terhadap hosti yang dalam perayaan Ekaristi dalam Doa Syukur Agung mengalami transubstansiasi sehingga itu menjadi Tubuh Kristus. Sang penanya mendapat kesan bahwa sekarang ini kebanyakan orang Katolik, bahkan imamnya, tidak lagi punya kepercayaan terhadap transubstansiasi itu.
Soal itu, saya no comment, mungkin perlu dibuat penelitian mengenai kepercayaan orang Katolik terhadap transubstansiasi berkat konsekrasi yang dilakukan melalui imam. Sebagian orang Katolik mungkin mengacu pada peristiwa mukjizat hosti yang berubah jadi daging sungguhan dan anggur jadi darah sungguhan. Sebagian lagi mungkin hanya melihatnya sebagai suatu tanda sebagaimana tanda-tanda lain dalam hidup keseharian untuk mengingatkan orang kepada sesuatu yang lainnya.
Saya tidak menempatkan diri saya dalam salah satu posisi itu, tetapi melihat kembali soal yang selama ini taken for granted dalam hidup orang beragama. Pada posting Paska Itu Apa saya diam-diam mengatakan bahwa kebanyakan orang beragama menganggap doktrin agamanya taken for granted. Namanya ajaran agama ya harus diterima benar begitu saja. Saya mengundang pembaca untuk mengambil posisi yang lebih kritis dan sadar sehingga menghayati agama tidak sebagai kontroversi terhadap agama lainnya.
Maka, mengesankanlah bagi saya bahwa seorang anak SMA menjawab pertanyaan mengenai Paska dengan menyisipkan kata ‘misteri’: yang dirayakan dalam Hari Raya Paska bukan lagi kebangkitan Yesus (yang sangat kontroversial), melainkan misteri kebangkitan (baik Yesus Kristus maupun orang-orang yang merefleksikannya). Misteri tidak membuat Yesus jadi objek pergunjingan otak, tetapi jadi referensi untuk mawas diri, untuk meninjau keyakinan iman seseorang, untuk menyelisik sikap dan pilihan hidupnya.
Oleh karena itu, berkenaan dengan roti hidup dalam teks bacaan hari ini, saya tidak bisa menganggapnya sebagai tanda belaka, tetapi juga tak perlu jatuh pada kalkulasi indra yang bisa meleset (termasuk hosti yang berubah jadi daging!). Dalam hidup umat beriman, apa pun agamanya, kata-kata Thomas Aquinas berlaku: Praestet fides supplementum sensuum defectui. Kiranya iman menolong indra, yang tak memadai.
Andai saja semua orang beragama sadar akan keterbatasan indranya, tentu tak perlu saling mendebat, tetapi malah saling belajar.
Ya Allah, mohon rahmat iman kepada-Mu semata. Amin.
KAMIS PASKA III
9 Mei 2019
Posting 2018: Tuntun Dong
Posting 2017: Inisiatif Siapa Toh?
Posting 2016: Rotinya Rotinya
Posting 2015: Siapa Yang Nembak Duluan?
Posting 2014: Revolusi Mental, Revolusi Kultural
Categories: Daily Reflection