Seiring dengan gencarnya berita via medsos berkenaan dengan pilpres dan pileg, teks bacaan hari ini juga menunjukkan dinamika serupa. Saya terima survei di Jakarta yang menunjukkan bahwa suara yang sangat memengaruhi pilihan seseorang adalah suara pemuka agama, dan persis karena itulah mereka yang bertarung di ranah politik sebisa mungkin menggandeng pemuka-pemuka agama. Untungnya muka saya tak bisa digandeng [emang yang bilang elu pemuka agama siapa, Rom?], jadi saya bebas memilih jadi golputer.😝
Tapi, seperti sudah saya bilang dalam posting Mengais Suara Golput, dari ranah kerohanian, golput itu cuma syarat supaya orang memilih bukan karena like-dislike seakan-akan ini cuma soal selera: lebih suka pemimpin yang maco (emangnya brimob), yang gagah, suaranya lantang, tegas, kekar, dan seterusnya. Kalau gak ada yang disukai ya putus asa, jadi anggota golongan putus asa. Ini bukan golput yang saya pilih tadi. Saya memilih golput supaya lebih realistis: bahwa objek pilihan saya itu bukan orang-orang sempurna, tetapi saya masih bisa cari informasi lain berkenaan dengan rekam jejak orang-orang yang tidak sempurna itu.
Misalnya, yang satu meniti karir dari bawah tanpa koneksi nepotisme sejak zaman Soeharto, yang lain berkarir dalam pengaruh kuat Soeharto. Yang satu kekayaan, tanahnya, keluarganya bagaimana, yang lain bagaimana. Yang satu sudah berpengalaman dalam tata kelola warga sipil dari lingkup kecil sampai besar, yang lain menanjak karirnya dalam pengaruh kuat Soeharto, yang dari kajian teori kepemimpinan adalah tipe pemimpin otoriter yang dibalut dengan model paternalistic coaching. (Itu mengapa dulu populer istilah yang dimunculkan kembali oleh kerabat Soeharto: ABS, ini bukan Auto Brake System, melainkan Asal Bapak Senang dan Bapak itu tak lain dan tak bukan adalah Bapak Soeharto!)
Ini bukan semata soal 01 atau 02, karena di balik keduanya ada orang-orang yang dulu terlibat dalam peristiwa 1998, yang untuk adik-adik sekalian kiranya gelap. Teks bacaan hari ini memicu ingatan saya ke sana: “Kamu tidak tahu dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi”.
Tak usah pikir ini soal ungkapan dari teks suci, tapi lihatlah bahwa bisa jadi adik-adik milenial memang tidak tahu dari mana 01 datang dan pergi ke mana, tidak tahu dari mana 02 datang dan pergi ke mana.
Konkretnya, 1998 bisa jadi tolok ukur dan mungkin baiklah adik-adik milenial membaca posting semacam Menolak Lupa, 5 Fakta Tragedi Mei 1998. Saya tak bisa melupakannya: tatapan kosong wajah polisi, laras pistol yang mengarah ke wajah saya, teman serumah yang dioperasi karena terkena peluru yang pecah di bawah kulit, teman-teman lain hilang, yang gugur, yang terancam karena dikejar-kejar, bau anyir darah, bau gosong mayat, korban perkosaan karena politik identitas, Jakarta yang jadi merah karena kebakaran, penjarahan, dan seterusnya.
Jadi, sekali lagi, kalau Anda golputer, apalagi kaum milenial, silakan belajar untuk tidak lempar tanggung jawab kepada orang lain. Misalnya, “Ah yang gak milih kan cuma aku, k’lean kan milih.” Silakan berpendapat begitu, tetapi pikirlah baik-baik: bagaimana Anda bisa membuktikan bahwa yang gak milih cuma Anda? Bagaimana Anda tahu bahwa yang berpikiran seperti itu tidak sampai sepuluh juta orang? Berpikirlah magis, lebih cermat, ke akar persoalan, supaya tahu “dari mana Aku datang dan pergi” itu tadi.
Silakan tinjau misalnya peristiwa Brexit di Inggris sana yang meninggalkan penyesalan berkepanjangan dari mereka yang golput atau bisa juga lihat politik identitas di Belgia, misalnya. Ini adalah contoh baik untuk melihat dengan batin jernih bahwa berhenti sebagai golputer saja pada era yang justru semakin hendak transparan ini akan mencederai diri sendiri dan sesama.
Balik lagi, mari pandang baik-baik peristiwa 1998: itu memang berakhirnya era pemimpin otoriter dengan jatuhnya Soeharto, tetapi kroni-kroninya masih gentayangan sampai sekarang, dan Anda bisa bayangkan, kalau kroni-kroninya ini diuntungkan selama rezim otoriter itu berkuasa, mereka tentu akan mati-matian mempertahankan keuntungan yang diperolehnya dan sebisa mungkin merebut kekuasaan supaya perlindungan terhadap keuntungannya itu tak hancur.
Sekali lagi, ini bukan soal 01 atau 02, keduanya memakai politik identitas. Maka, tolok ukur terakhir adalah 1998: pemimpin-pemimpin mana yang diuntungkan selama sejarah sebelum 1998, pemimpin-pemimpin itulah yang akan mengembalikan situasi seperti zaman sebelum 1998. Anda tinggal browsing saja di mana 01 pada saat 1998 dan di mana 02 pada saat 1998.
Golput memang pilihan tepat pada masa pemerintahan otoriter untuk mendelegitimasi pemerintahan otoriter itu, untuk menjatuhkannya. Begitulah yang terjadi pada pemilu sebelum 1998, dan karena golput tak cukup juga, mahasiswa bergerak dan tumbanglah Bapak itu. Tetapi, setelah rezim otoriter selesai, golput cuma membuat hidup Anda ditentukan orang lain, Anda kehilangan identitas, kehilangan hidup Anda sendiri, dan iman Anda hanyalah hoaks atau tipis-tipis, karena tak termanifestasikan dalam sikap dan perbuatan, yang di dalamnya ada tindakan memilih.
Loh, bukankah memilih untuk tidak memilih itu juga pilihan, Rom?😝 Yahahaha, muter-muter lagi. Sudah saya bilang pergilah ke 1998 tadi. Memilih untuk tidak memilih itu adalah pilihan terbaik untuk rezim otoriter. Saya tidak bisa menilai bahwa rezim ini otoriter. Adik-adik milenial kiranya tak tahu apa itu petrus: penembakan misterius. Preman-preman bisa tahu-tahu didor tanpa proses pengadilan. Begitulah rezim otoriter menjalankan kekuasaannya.
Belakangan saya baca berita yang berkebalikan dari itu: polisi yang ditikam karena terduga teroris berpura-pura menyerah, tentara yang tertembak mati karena gerakan sipil bersenjata. Terlepas dari apapun perkaranya, kalau pemimpinnya otoriter, dengan mudahnya bisa mengerahkan kekuatan militer untuk menumpas gerombolan ini atau itu. Ini tidak terjadi sekarang. Bahkan, konon pengawal khusus pemimpinnya pun mesti pontang-panting supaya lebih manusiawi pengamanannya.
Terakhir, belajar dari 1998, adik-adik milenial perlu waspada terhadap politik identitas, tetapi juga hoaks yang disebar untuk membolak-balik kenyataan dan menyerang pemimpin yang transformatif. Saya tidak sedang bicara soal 01 dan 02, tetapi fakta bahwa pemimpin yang Anda miliki sekarang, jika diapresiasi oleh pemimpin dunia, itu artinya dia memang dipandang transformatif, dan itulah model yang dalam teori kepemimpinan disebut model terbaik.
Anda tak perlu ikut-ikutan nyinyir bahwa penghargaan diberikan oleh orang luar, tetapi bukan orang dalam. Orang yang nyinyir seperti itu tak tahu bahwa sudah lama teks suci mengatakan bahwa tidak ada nabi yang dihormati di negerinya sendiri. Maka, jangan heran kalau mendekati hari pemilihan ini emosi orang dimainkan dengan berita supaya kesan pemimpin transformatif di negeri kita itu hancur.
Tuhan, mohon rahmat semoga adik-adik milenial dan teman-temannya, saudara-saudaranya mau berpikir magis untuk melihat sejarah dan dapat menengarai gerakan-gerakan mana yang membahayakan hidup bersama sebagai bangsa Indonesia. Amin.
HARI SENIN PRAPASKA V C/1
8 April 2019
Dan 13,1-9.15-17.19-30.33-62
Yoh 8,1-11
Senin Prapaska V C/2 2016: Jadilah Anak-Anak Terang
Categories: Daily Reflection