Seorang kawan mempertanyakan status golput yang rupanya jadi bahan nyinyiran juga menjelang pemilu tahun ini. Pertanyaannya valid: tidak adakah sesuatu yang baik dari golput sehingga mesti jadi bahan nyinyiran negatif? Dalam hati saya menjawab spontan: oh ya jelas ada, sekurang-kurangnya dari perspektif kerohanian, golput adalah manifestasi detachment dalam azas dan dasar, yang tanpanya orang membuat pilihan atas dasar kelekatan emosional (atau barangkali juga ada kelekatan intelektual). Pilihan macam begini biasanya dibuat oleh kaum fanatik bermodalkan ‘pokoknya’ dan kalau sudah ‘pokoknya’, mau apa lagi?
Cuman, azas dan dasar tidak selesai dengan detachment alias golput. Masih ada prinsip magis yang menunjuk pada kondisi-kondisi paling baik dalam ruang waktu tertentu bagi orang untuk mewujudkan AMDG-nya. Artinya, golput tidak bisa jadi pilihan final. Itu hanya disposisi atau katakanlah pondasi [bener kan terjemahannya?] kosmetik wajah supaya lapisan lainnya bisa bertahan lebih baik.
Nah, itu kan perspektif kerohanian. Bagaimana kalau perspektifnya politik? Bisakah golput jadi pilihan final? Ya bisa saja, mengapa tidak why not? Pada kenyataannya, konon suara golput meningkat belakangan ini dan itu bisa meresahkan sebagian orang.
Teks bacaan hari ini menegaskan bahwa “jokowi-jokowi”-nya tempat manusia berlindung dalam seluruh hidupnya adalah Tuhan dan kepada-Nyalah manusia pantas mencari, meminta, mengetuk. Ini dikatakan juga oleh Bimbo dalam lagunya. Bagaimana manusia mencari, meminta, mengetuk pintu Tuhan kalau tidak dengan menggunakan segala daya upayanya sebagai wujud doanya?
Di medsos saya memang muncul klip video seorang manajer dalam pelariannya yang membeberkan bagaimana strateginya menyusupi NKRI dengan hukum spesial agama sejak pemilu tahun ini. Tentu saja, tak peduli siapa “jokowi”-nya, kuasai saja legislatifnya; kalau legislatif ini terkuasai, usulan hukum apa saja bisa dibuat dan bolehlah berdebat sana sini sampai deadlock dan ketika saatnya voting, penguasa legislatif inilah yang akan memenangkannya. Strategi seperti ini sangat feasible untuk saat sekarang. Strategi macam begini tentu takkan berjalan dengan baik pada masa Orde Baru, yang kekuasaannya terpusat pada satu kekuatan. Pada saat seperti itulah, IMHO, golput dengan segala manifestasinya wajib digerakkan: untuk mendelegitimasi kekuasaan absolut.
Sekarang ini, saya tidak yakin bahwa kekuasaan bersifat absolut karena begitu banyaknya konflik kepentingan yang tak terselesaikan oleh kekuasaan. Akan tetapi, golput, menurut saya, tetap relevan untuk mendelegitimasi kekuasaan-kekuasaan yang merongrong atau mereduksi NKRI sebagai negara milik suku, ras, agama tertentu. Caranya? Kalau tidak bisa demo pembubaran ormas abal-abal atau partai yang potensial mereduksi NKRI, ya sekurang-kurangnya tidak membiarkan suaranya dipakai untuk partai yang potensial mengancam NKRI itu. Dalam arti ini, golput mesti aktif, bukan malah tak peduli pemilu, karena sistem itulah yang de facto dianut.
Dengan begitu, saya menyodorkan perspektif azas dan dasar: golput tak boleh diremehkan, tetapi sungguh mesti direalisasikan supaya lebih kondusif bagi kemajuan NKRI. Di sini, detachment dilengkapi dengan sikap magis, dan di situlah orang mewujudkan nasihat Kitab Suci hari ini untuk mencari, mengetuk, meminta dari Allah apa yang diperlukannya untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Marilah berdoa supaya golputers tidak jadi golongan putus asa indifferent, tetapi jadi magis. Amin.
HARI KAMIS PRAPASKA I
14 Maret 2019
TambEst 4,10a.10c-12.17-19
Mat 7,7-12
Posting 2017: Tuhannya Nganu
Posting 2016: Vending Machine God
Posting 2015: Doa Jamu Air Manjur
Posting 2014: Praying Heart Implies Humility
Categories: Daily Reflection